Keterpurukan Indonesia tidak terlepas dari peran kelompok meanstream yang saat ini mendominasi pemikiran kaum ekonom Indonesia, padahal basis teori neoklasikal yang melandasi pemikiran mereka saat ini terperangkap ke dalam konservativisme dan konvensionalisme ekonomi, yang boleh dibilang makin obsolit dan ortodoks.
Konservatisme dan ortodoksi ilmu ekonomi mainstream telah dengan keras ditentang oleh kaum strukturalis yang telah membuktikan asumsi dasar ekonomi neo-klasikal yang berdasar self-interest tidak lagi valid, bahkan telah membentukkan akhlak ekonomi yang makin jauh dari hakikat ilmu ekonomi sebagai a moral science. Dari asumsi itu telah terjadi suatu self-fulfilling prophesy yang menciptakan mindset ekonomi dan membentuk para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo-economicus, meninggalkan moralitasnya sebagai homo-ethicus. Ilmu ekonomi akhirnya berada dalam suatu berantakan (turmoil). 3) Fundamentalisme pasar, sebagai inherensi asumsi dasar self-interest, mempergiat keterjerumusan ini.4) Kelompok mainstream menjadi identik dengan kelompok market fundamentalists.
Tantangan kita adalah tantangan budaya, yaitu merombak paradigma obsolit dalam pemikiran ekonomi untuk membentuk suatu mindset ekonomi baru yang menjamin kemandirian.
Pandangan strukturalistik yang diungkapkan oleh John Kenneth Galbraith, 5) kiranya baik untuk mengawali titik-tolak tentang kelemahan ekonomi pasar. Galbraith menyatakan bahwa internasionalisasi modal, produksi dan perdagangan yang bebas sebagai wujud utama dari globalisasi, akan menimbulkan pemberdayaan ekonomi dan politik (empowerment) bagi kalangan aktor ekonomi yang mampu atas korban the underclass, yaitu golongan kelas bawah yang hidup dalam ekonomi rakyat.
Paham strukturalisme, baik strukturalisme awal maupun neostrukturalisme, adalah paham yang menolak ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan sosial-ekonomi. Kaum strukturalis mengungkapkan dan mengusut ketimpangan-ketimpangan struktural yang berkaitan pemusatan penguasaan dan pemilikan aset ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan, produktivitas dan kesempatan ekonomi. Kepedulian akademik-ilmiah pemikir strukturalis meliputi pula masalah ketimpangan dalam kelembagaan, partisipasi dan emansipasi sosial-ekonomi, pengangguran, kemiskinan struktural dan masalah ketergantungan serta subordinasi sosial-ekonomi.
Kaum strukturalis menempatkan ilmu ekonomi pada peran normatifnya, menjelajahi komposisi dan interrelasi antara para aktor, sektor-sektor dan variabel-variabel ekonomi dalam rangka perwujudan keadilan dan kesetaraan sosial-ekonomi. Apabila strukturalisme cenderung menolak mekanisme pasar-bebas adalah karena pasar-bebas secara inheren menumbuhkan ketidakadilan sosial-ekonomi. Demikian itulah maka strukturalisme banyak menggelar tuntutan transformasi ekonomi dan transformasi sosial yang harus dianggap inherent dalam proses pembangunan nasional. Dalam kaitannya dengan ancaman dominasi dan hegemoni kekuatan ekonomi global, maka dapatlah dipahami bahwa strukturalisme berkaitan erat dengan nasionalisme ekonomi. 6)
Kelompok ekonomi “moneteris” kebanyakan beranjak dari pemikiran neoklasikal (market fundamentalism), sedangkan kelompok ekonomi “sektor riil” lebih dekat dan memahami pemikiran, tetapi tidak selalu rukun dengan, kaum strukturalis.
Selanjutnya kaum strukturalis, yang mengoreksi kelemahan mendasar dari mekanisme pasar dan persaingan-bebas, dengan makin bergeloranya globalisasi dengan kapitalisme globalnya, makin gencar pula menunjukkan kebenaran analitik dan bukti-bukti empirik, betapa globalisasi perlu benar-benar diwaspadai. Kaum strukturalis mulai menggunakan istilah-istilah keras untuk menyentak mindset neoklasikal, seperti “global capitalism”, “turbo capitalism”, “new imperialism”, “cowboy capitalism”, “Old West capitalism”, “the dangerous currents”, “the winner-take-all market”, “the zero-sum society”, “the winner-take-all society”, dst. Jan Tinbergen mengatakan kepada saya (1992) bahwa lobang ozone makin besar karena kelakuan “the greedy capitalism”. Dalam platform Club of Rome, lebih lanjut Tinbergen mengatakan bahwa “the limits to growth” dalam 20 tahun menjadi “beyond the limits” 7) karena kerakusan kapitalisme global.
Kaum strukturalis tidak saja menunjukkan kelemahan (parsialitas) ekonomi neoklasikal, tetapi juga mengoreksi dan bahkan menolak asumsi dasarnya. Kegagalan pasar dan ketidaksempurnaan pasar dalam mewujudkan the invisible hand (yang diabaikan oleh kaum market fundamentalists) adalah yang salah satunya, tidak terselesaikannya micro-macro rift 8) adalah yang lainnya, sehingga efisiensi ekonomi yang dikembangkan berdasar tataran mikro tidak klop, bahkan bisa bertentangan dengan efisiensi ekonomi pada tataran makro.
Ekonomi neoklasikal berdasar mekanisme persaingan pasar-bebas terbukti tidak mampu mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural untuk terlaksananya transformasi ekonomi dan transformasi sosial yang bermakna. Oleh karena itu strukturalisme berorientasi pada strukturisasi dan restrukturisasi ekonomi disertai intervensi mengatur dan mengontrol mekanisme pasar. Kelemahan mekanisme pasar-bebas dalam perwujudan demokrasi ekonomi adalah (istilah saya) mungkin sekadar mampu menghasilkan “nilai-tambah ekonomi” tetapi tidak menjamin dapat menyumbangkan “nilai-tambah sosio-kultural” (menjangkau makna partisipasi dan emansipasi kemartabatan), 9) dan pula timpangnya struktur kekuasaan ekonomi, telah menjadi tema-tema utama dalam pemikiran ekonomi strukturalis.
Strukturalisme peduli akan harkat manusia dalam lingkup moralitas ekonomi. Strukturalisme menolak homo economicus yang melahirkan akhlak homo homini lupus, menolak eksploitasi, pelumpuhan (disempowerment) dan pemiskinan (impoverishment) sosial-ekonomi. Apabila ekonomi neoklasikal berorientasi pada pertumbuhan (growth), maka ekonomi strukturalis lebih mengutamakan masalah redistribusi dan lapangan kerja (employment). Boleh dibilang, sebagai upaya mengubah mindset atau pakem ekonomika, awal dari strukturalisme terutama adalah pemikiran ke arah “it is employment that will take care of growth”. 10)
Bagi Indonesia,11) pemikiran-pemikiran strategis, cermat dan mendalam mengenai ketimpangan-ketimpangan struktural harus tetap dikembangkan. Hanya dengan demikian maka kebijakan restrukturisasi untuk mengatasi ketimpangan struktural dapat didesain. Saya menawarkan beberapa butir kebijakan restrukturisasi ekonomi dalam artian reformasi makro yang meliputi berbagai sektor, bidang dan dimensi a.l. seperti berikut: (1) Restrukturisasi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi: Pemilikan dan penguasaan aset oleh rakyat harus makin merata dan dapat mengurangi secara struktural konsentrasi-konsentrasi pemilikan dan penguasaan aset pada sekelompok kecil aktor-aktor ekonomi. Setiap usaha ekonomi harus dapat meningkatkan pemilikan bukan sekadar meningkatkan pendapatan masyarakat secara merata. Restrukturisasi ini diarahkan untuk membentukkan “Triple-Co”, yaitu co-ownership, co-determination dan co-responsibility sebagai implementasi demokratisasi ekonomi di dalam badan-badan usaha ekonomi (lihat Bagan II). Dalam restrukturisasi ini hendaknya dihindarkan suatu perampasan seperti ("savage acquisition", "cannibal redistribution" atau "wild take-over"). (2) Restrukturisasi alokatif: Menyangkut alokasi dana-dana pembangunan, baik dana anggaran nasional ataupun daerah, baik yang berasal dari perbankan ataupun dari lembaga-lembaga non-bank. Bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan non-bank harus tetap memelihara perannya sebagai agen pembangunan, agen reformasi dan agen restrukturisasi ke arah tercapainya keseimbangan struktural yang lebih baik. (3) Restrukturisasi spasial (spatial): Restrukturisasi ini diperlukan antara lain untuk mencapai pemerataan dan keseimbangan pembangunan serta pertumbuhan antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, antara Jawa dan luar Jawa, antara perkotaan dan perdesaan, dan seterusnya. (4) Restrukturisasi sektoral: Hal ini diperlukan terutama untuk mencapai keseimbangan dinamis antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor formal-modern dan sektor informal-tradisional, antara sektor-sektor yang grassroots-based dan yang nongrassroots-based, menuju kukuhnya perekonomian rakyat (dengan wadah koperasi) sebagai sokoguru perekonomian nasional. (5) Restrukturisasi perpajakan: Selain berperan sebagai sumber penerimaan negara, pajak adalah sarana redistribusi. Pada dasarnya pajak harus progresif untuk mempersempit kesenjangan. Khususnya terhadap kekayaan dan pemilikan barang mewah harus dikenakan pajak kekayaan secara progresif. Sebaliknya terhadap kelompok miskin yang memerlukan pemberdayaan diberikan subsidi atau proteksi. Pajak merupakan insentif untuk kegiatan produktif dan disinsentif terhadap konsumsi mewah. (6) Restrukturisasi strategis: Restrukturisasi ini untuk memperkukuh kemandirian ekonomi, mengurangi dependensi dan meningkatkan interdependensi resiprokal yang seimbang dan diperlukan untuk memperkukuh fundamental ekonomi. Dengan restrukturisasi strategis ini perekonomian nasional diarahkan untuk berakar di dalam-negeri dan menjadi people-centered dan resources-based. (7) Restrukturisasi pola-pikir atau reorientasi budaya: GBHN telah mendorong reorientasi semacam ini, yakni antara lain reorientasi ke arah lebih banyak membuka akses akan hak-hak rakyat dan mengembangkan perekonomian rakyat melalui sistem ekonomi berdasar demokrasi ekonomi. (8) Restrukturisasi sosial-politik dan sosial-budaya: Restrukturisasi ekonomi ini tidak akan sepenuhnya bermanfaat apabila tidak didukung oleh restrukturisasi di bidang sosial-politik dan sosial-budaya. Restrukturisasi sosial-politik menyangkut demokratisasi politik dan peran masyarakat madani. Restrukturisasi sosial-budaya menyangkut upaya mengubah mindset, melakukan unlearning terhadap pakem-pakem usang, khususnya restrukturisasi dan demokratisasi pendidikan rakyat. 12)
Sementara itu Sritua Arief salah satu tokoh strukturalis utama Indonesia mengecam ilmu ekonomi neoklasikal yang menjadi roh globalisasi, dengan menegaskan bahwa ia menentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pasar-bebas dalam ruang lingkung internasional yang tidak adil dan bahwa pasar harus di intervensi. 13
3) Lester C. Thurow, Gurubesar Ekonomi pada MIT menegaskan: “ … economics is in the state of turmoil… the economics of the textbooks and of the graduate schools not only still teach price-auction model but it is moving toward narrower and narrower interpretations … the mathematical sophistication intensifies as an understanding of the real world diminishes… economics cannot do without simplifying assumptions, but the trick is to use the right assumption at the right time, and this judgement has to come from empirical analyses including those employed by historians, psychologists, sociologists and political scientists…”, lihat Lester C. Thurow, The Dengerous Currents: The State of Economics (New York: Random House, 1983), hlm. 236-237.
4) Robert Heilbroner salah satu tokoh besar Amerika Serikat dalam ilmu ekonomi dan Lester C. Thurow secara konsisten menegaskan mengenai the defects of the market sebagai berikut: “… the market is an insufficient instrument for provisioning society, even rich societies … the market is assiduous servant of the wealthy, but indifferent servant of the poor … market system promote amorality, it is not just an economic failure, but it is a moral failure…”, lihat Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow, Economics Explained (New York: Simon Schuster, edisi baru, 1994), hlm. 255-256; sementara itu George Soros mengatakan: “… But market fundamentalism has become so powerful that any political forces that dare to resist it are branded as sentimental, illogical, and naïve. …Yet the truth is that market fundamentalism is itself naïve and illogical. Even if we put aside the bigger moral and ethical questions and concentrate solely on the economic arena, the ideology of market fundamentalism is profoundly and irredeemably flawed. To put the matter simply, market forces, if they are given complete authority even in the purely economic and financial arenas, produce chaos and could ultimately lead to the downfall of the global capitalist system. This is the most important practical implication of my argument in this book…”; lihat George Soros, the Crisis of Global Capitalism (New York: Public Affairs, 1998), hlm. xxii.
5) Lihat John Kenneth Galbraith, The Culture of Contentment (Boston: Houghton Mifflin, 1992).
6) Lihat Leah Greenfeld, the Spirit of Capitalism:…, op. cit., hlm. 4.
7) Lihat Meadows, Donella H., et al., The Limits to Growth (New York: Universe Books, 1972). Duapuluh tahun kemudian, sebagai kelanjutan dan evaluasinya, ternyata ‘limits’ itu telah dilampaui, lihat Meadows, Donella H, et al., Beyond the Limits, Forward by Jan Tinbergen (Vermont: Chelsea Green, 1992).
8) Heilbroner dan Thurow menyebutkannya sebagai “micro-macro ills”, Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow, Economics Explained, op. cit, hlm. 256. Dalam ruang kelas akan bisa sangat menarik membicarakan asumsi constant returns to scale vs increasing returns to scale dan transformasinya dari tataran mikro ke tataran makro. Para pengajar dianjurkan untuk membaca “the new growth economics” sebagaimana dikemukakan oleh Samuelson yang berkaitan dengan capital deepening, increasing returns to scale, external scale economics, lihat Paul A. Samuelson, “Sparks and Grit from the Anvil of Growth”, dalam Gerald M. Meier dan Joseph E. Stiglitz (eds.), Frontiers of Development Economics (Washington DC: IBRD/Oxford University Press, 2001), hlm. 492-505.
9) Lihat beberapa artikel dalam Sri-Edi Swasono, Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat (Jakarta: UI-Press, 1992); lihat pula Sri-Edi Swasono, Dari Lengser ke Lengser: Reformasi Menjadi Deformasi (Jakarta: UI-Press, 2001), op.cit.
10) Dikatakan Mahbub ul Haq “… we were tought to take care of GNP as this will take care of poverty. Let us reverse this and take care of the poverty…” (yang dimaksud melalui employment, pen.) as this will take care of GNP”, lihat Mahbub ul Haq, “Employment and Income Distribution in the 1970’s: A New Perspective”, Development Digest, October 1971, hlm. 7. Lihat pula Sri-Edi Swasono, “Prospek dan Perkembangan Perekonomian Rakyat/UKM: Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Pasar”, mimeo, Diklatpim, LAN, Denpasar, 21-22 Maret 2002.
11) Lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi (Yogyakarta: UGM-PUSTEP, 2003), hlm. 36-38.
12) Lihat Sri-Edi Swasono, Pembangunan Berwawasan Sejarah: Kedaulatan Rakyat, Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik (Jakarta: UI-Press, 1990), hlm. 26-43.
13) Dalam Kata Sambutan pada buku Sri-Edi Swasono, Sritua Arief mengatakan: “…Saya dan Saudara Sri-Edi menentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pasar-bebas dalam ruang lingkup internasional yang tidak adil. Pasar harus diintervensi, justru perlu ada a visible hand untuk mengatur pasar demi kepentingan negara dan kemaslahatan masyarakat. Itulah sebabnya kami menolak internasionalisasi modal, produksi, dan perdagangan secara bebas. Ini akan merunyamkan ekonomi rakyat bangsa kita…”, lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose …, op. cit., hlm. xii.
sumber :
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sri-edi-swasono/berita/ekonomi_rakyat.doc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar