Transformasi Ekonomi dan Transformasi Sosial
Secara sadar sejak Indonesia merdeka dan menetapkan UUD 1945 telah dengan tegas digariskan kebijaksanaan nasional untuk melakukan “transformasi ekonomi” dan “transformasi sosial”.
Dalam kehidupan ekonomi makna transformasi ekonomi berhakikat “merubah sistem ekonomi kolonial yang subordinatif menjadi sistem ekonomi nasional yang demokratis”. Para pendiri Republik dengan sangat bijaksana dan hati-hati menghidari kemungkinan terjadinya chaos dalam pelaksanaan transformasi ekonomi itu. Oleh karenanya ditetapkan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945 yang berbunyi: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dengan demikian maka berlakulah “dualisme” di dalam sistem ekonomi nasional. Sistem pertama berdasarkan paham demokrasi ekonomi yang secara imperatif sesuai Pasal 33 UUD 1945 (yaitu paham ekonomi berdasar “kebersamaan dan asas kekeluargaan”, mutualism dan brotherhood); dan sistem kedua berdasar paham individualisme atau “asas perorangan” mengikuti ketentuan Wetboek van Koophandel (KUHD) sesuai Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
Mengingat berlakunya sistem kedua (yang berdasar pada “asas perorangan”) sesuai dengan aturan yang bersifat “temporer” itu, maka di dalam menyusun sistem ekonomi nasional “asas perorangan” (yang menjadi dasar liberalisme dan hidupnya kapitalisme) seharusnyalah bersifat temporer pula. Dalam kaitan tugas transformasi ekonomi ini maka Negara secara imperatif harus memiliki komitmen tegas untuk menyusun perekonomian (kultur ekonomi dan bisnis) ke arah paham ekonomi yang berdasar pada “usaha bersama dan asas kekeluargaan”, kemudian menanggalkan paham ekonomi yang berdasar pada “asas perorangan”. Dengan kata lain, transformasi ekonomi berarti secara bertahap kita mem-Pasal 33-kan KUHD.
Ada alasan hukum, yaitu masih dipertahankan berlakunya asas perorangan sesuai ketentuan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945, yang juga mengakibatkan kita mudah bersambung dan terdikte oleh kekuatan ekonomi dari luar yang berdasarkan individualisme, liberalisme dan kapitalisme, yang saat ini dengan deras di bawa oleh gelombang globalisasi. Sementara itu sistem ekonomi pasar-bebas (berdasar market fundamentalism) adalah sistem yang memelihara dan mempertahankan tuntutan kultur ekonomi kapitalisme dahsyat yang eksploitatori dan predatori.
Dalam pada itu keterdiktean, ketertundukan, ketakmandirian dan ketergantungan ekonomi terus berkelanjutan dengan tetap langgengnya budaya ekonomi subordinasi, yang mempertahankan hegemoni ekonomi dan menumbuhkan dependensi baru.
Hubungan ekonomi subordinasi tuan-hamba, taoke-koelie atau juragan-buruh (suatu economic slavery system sebagaimana berlaku pada zaman usaha VOC, pasca VOC, cultuurstelsel dan pasca cultuurstelsel) secara imperatif perlu kita ubah menjadi hubungan ekonomi yang demokratis, yaitu hubungan ekonomi yang partisipatori-emansipatori. Inilah transformasi sosial yang harus kita lakukan. PIR (Perkebunan Inti Rakyat) adalah cultuurstelsel baru. PIR bukan lagi sesuai dengan NES (Nucleus Estate Small-Holders) sebagai model empowerment aslinya, di mana inti seharusnya dimiliki (sebagian/seluruhnya) oleh plasma, di mana hubungan keduanya adalah kebersamaan, inti tidak mensubordinasi plasma seperti kenyataannya sekarang.
Transformasi sosial ini tidak mudah terlaksana. Transformasi sosial ternyata harus menempuh suatu proses budaya melalui pertentangan kepentingan sosial-ekonomi, dari yang keras terbuka hingga ke yang subtil, berhadapan dengan budaya feodalistik (patronisasi) dan servilisme (keinlanderan) yang tidak mendukungnya. Dalam kaitan dengan percaturan ekonomi antar negara hubungan ekonomi subordinasi sangat diwarnai oleh persistensinya inferiority complex bangsa ini, suatu budaya hidup yang tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Dengan makin melunturnya nasionalisme, maka hubungan ekonomi subordinasi ini hidup kembali dan sekaligus makin memperpuruk bangsa Indonesia.
Apakah keterpurukan seperti yang disinggung di atas berarti pula bangsa ini telah mengingkari “nasionalisme” sebagai kekuatan dahsyat yang inherent dan aktual, sebagai penggerak utama perkembangan ekonomi nasional, sebagaimana ditegaskan sebagai suatu kenyataan riil oleh Joan Robinson, Leah Greenfeld, Ian Lustic dst 2) sebagaimana saat ini tetap merupakan kenyataan riil? Nasionalisme baru tetap menolak dependensi, namun mendorong interdependensi global, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
2) Mengenai nasionalisme dapat saya kutipkan: “…The very nature of economics is rooted in nationalism…The aspirations of the developing countries are more for national independence and national self-respect than just for bread to eat… The hard-headed Classicals were in favor of Free Trade because it was good for Great Britain, not because it was good for the World …”, lihat Joan Robinson, Economic Philosophy, Chicago: Aldine Publishing, 1962; “… Today, it is claimed, we live in the period of late capitalism, and possibly in the postindustrial society, yet nationalism … is not gone, nor does it show any signs of being gone soon…. Nationalism first appeared in England, becoming the preponderant vision of society there… the sustained growth characteristic of modern economy is not self-sustained; it is stimulated and sustained by nationalism…”, lihat Leah Greenfeld, The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2001; “… It has been a commonplace to view nationalism as the greatest, the most powerful single force in the modern world…”, lihat Ian S. Lustick, Hegemony and The Riddle of Nationalism, Logos 1.3 – Summer 2002, hlm. 18.
sumber :
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sri-edi-swasono/berita/ekonomi_rakyat.doc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar