Hebatnya perkembangan dari koperasi-koperasi di negara-negara maju tersebut memberi kesan bahwa koperasi tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis. Sebaliknya, koperasi-koperasi tersebut tidak hanya mampu selama ini bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar non-koperasi, tetapi mereka juga menyumbang terhadap kemajuan ekonomi dari negara-negara kapitalis tersebut. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa koperasi lahir pertama kali di Eropa yang juga merupakan tempat lahirnya sistem ekonomi kapitalis.
Banyak studi-studi kasus atau laporan-laporan mengenai keberhasilan dari koperasi-koperasi di NM. Misalnya dari Trechter (2005) mengenai the Fonterra Cooperative Group (FCG) di Selandia Baru (SB) dan the Australian Wheat Board (AWB). Dalam suatu jangka waktu yang relatif pendek, pemasaran susu di SB telah berubah dari suatu sektor yang terfrakmentasi ke dalam sejumlah koperasi yang saling bersaing ke satu sektor yang didominasi oleh satu koperasi. Tahun 1996 ada 14 koperasi susu di SB. Sekarang hanya ada satu koperasi susu yang besar, yakni FCG, dan dua yang kecil berbasis regional yang beroperasi di SB. Tahun 2000, Kiwi Cooperative Dairies (Kiwi) dan New Zealand Dairy Group (NZDG) mendominasi industri susu di SB dan mereka adalah pesaing-pesaing berat. Negosiasi-negosiasi antara Kiwi dan NZDG yang akhirnya membuat terbentuknya FCG sangat lama dan alot. Menurut website-nya, FCG adalah korporasi terbesar di SB, dengan 7% dari PDB negara itu, menyumbang sekitar 20% dari cadangan devisa SB, dan perusahaan susu terbesar ke empat di dunia (http://fonterra.com). FCG melalui Kiwi Dairies dan NZDG memiliki sejumlah merek konsumen yang sangat kuat, diantaranya Anchor, Peters and Brownes, dan Tip Top. FCG punya sekitar 12.300 anggota dan fasilitas-fasilitas produksi di Brazil dan Australia, selain di SB. FCG secara cepat memperluas pengaruhnya di pasar susu di Australia dengan membeli Australian Food Holdings, bagian dari National Food dan upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk memperluas kepemilikannya dari Koperasi Bonlac dari 25% ke 50%. Tujuan utama dari didirikannya FCG adalah untuk mencapai penghematan biaya-biaya dan untuk menyediakan suatu landasan yang lebih efektif untuk bisa bersaing di pasar-pasar susu global. Kedua tujuan ini mempromosikan penggabungan dua tipe yang teridentifikasi dari penghematan-penghematan biaya-biaya. Pertama, rasionalisasi dari rantai suplai diharapkan dapat menciptakan penghematan-penghematan yang substansial. Fasilitas-fasilitas dan posisi-posisi yang duplikat dieliminasi lewat penggabungan itu. Kedua, penggabungan itu diharapkan bisa membuat FCG mampu merealisasikan skala ekonomis, yang berarti biaya rata-rata, yang berarti juga harga jual rata-rata per satu unit output menjadi murah.
Pendirian FCG waktu itu diharapkan bisa meningkatkan kemampuan dari industri susu SB untuk bersaing di pasar-pasar internasional. FCG cocok dengan definisi dari suatu generasi baru dari koperasi dalam banyak hal: (1) koperasi tersebut dimiliki dan diawasi oleh pemakai (dengan pemberian suara berdasarkan jumlah susu yang diserahkan bukan berdasarkan satu orang-satu suara); (2) keuntungan-keuntungan dibagikan berdasarkan pemakaian; (3) FCG bukan sepenuhnya suatu koperasi berdasarkan keanggotaan karena koperasi itu harus menerima pemasok-pemasok baru; (4) FCG punya suatu hubungan kontraktual dengan produsen-produsennya yang harus punya satu bagian dari stok susu FCG untuk setiap kilo dari susu yang akan diserahkannya.
Karakteristik penting lainnya dari FCG adalah bahwa koperasi tersebut mempunyai suatu fokus yang kuat pada pembuatan produk-produk yang bervariasi yang menciptakan kesetiaan pembeli dan harga premium.
AWB juga memiliki suatu sejarah yang panjang. Didirikan oleh pemerintah Australia pada tahun 1939 dan memberikan otoritas untuk mengekspor gandum. Pada tahun 2001 AWB ekspor lebih dari 15 juta mt, gandum dan mempunyai pembeli-pembeli di lebih dari 40 negara. AWB punya saham 3% dari jumlah ekspor dan 12% dari ekspor pertanian Australia. Di dalam konteks Australia dan pasar gandum global, AWB adalah pemain utama. Pada tahun 2001, AWB memegang saham terbesar kedua (17%) dari penjualan-penjualan di pasar gandum global.
Peterson (2005), mengatakan bahwa koperasi harus memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif dibandingkan organisasi-organisasi bisnis lainnya untuk bisa menang dalam persaingan di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini. Keunggulan kompetitif disini didefinisikan sebagai suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu perusahaan di posisi terdepan dibandingkan pesaing-pesaingnya. Faktor-faktor keunggulan kompetitif dari koperasi harus datang dari: (1) sumber-sumber tangible seperti kualitas atau keunikan dari produk yang dipasarkan (misalnya formula Coca-Cola Coke) dan kekuatan modal; (ii) sumber-sumber bukan tangible seperti brand name, reputasi, dan pola manajemen yang diterapkan (misalnya tim manajemen dari IBM); dan (iii) kapabilitas atau kompetensi-kompetensi inti yakni kemampuan yang kompleks untuk melakukan suatu rangkaian pekerjaan tertentu atau kegiatan-kegiatan kompetitif (misalnya proses inovasi dari 3M). Menurutnya, salah satu yang harus dilakukan koperasi untuk bisa memang dalam persaingan adalah menciptakan efisiensi biaya. Tetapi ini juga bisa ditiru/dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lain (non-koperasi). Jadi, ini bukan suatu keunggulan kompetitif yang sebenarnya dari koperasi. Menurutnya satu-satunya keunggulan kompetitif sebenarnya dari koperasi adalah hubungannya dengan anggota. Misalnya, di koperasi produksi komoditas-komoditas pertanian, lewat anggotanya koperasi tersebut bisa melacak bahan baku yang lebih murah, sedangkan perusahaan non-koperasi harus mengeluarkan uang untuk mencari bahan baku murah.
Loyd (2001) menegaskan bahwa koperasi-koperasi perlu memahami apa yang bisa membuat mereka menjadi unggul di pasar yang mengalami perubahan yang semakin cepat akibat banyak faktor multi termasuk kemajuan teknologi, peningkatan pendapatan masyarakat yang membuat perubahan selera pembeli, penemuan-penemuan material baru yang bisa menghasilkan output lebih murah, ringan, baik kualitasnya, tahan lama, dsb.nya, dan makin banyaknya pesaing-pesaing baru dalam skala yang lebih besar. Dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut, menurutnya, faktor-faktor kunci yang menentukan keberhasilan koperasi adalah: (1) posisi pasar yang kuat (antara lain dengan mengeksploitasikan kesempatan-kesempatan vertikal dan mendorong integrasi konsumen); (2) pengetahuan yang unik mengenai produk atau proses produksi; (3) sangat memahami rantai produksi dari produk bersangkutan; (4) terapkan suatu strategi yang cemerlang yang bisa merespons secara tepat dan cepat setiap perubahan pasar; dan (5) terlibat aktif dalam produk-produk yang mempunyai tren-tren yang meningkat atau prospek-prospek masa depan yang bagus (jadi mengembangkan kesempatan yang sangat tepat).
Berdasarkan penelitian mereka tehadap perkembangan dari koperasi-koperasi pekerja di AS Lawless dan Reynolds (2004) memberikan beberapa kriteria kunci dan praktek-praktek terbaik. Menurut mereka, kriteria-kriteria kunci untuk memulai suatu koperasi yang berhasil adalah sebagai berikut: (1) memiliki kepemimpinan yang visioner yang bisa “membaca” kecenderungan perkembangan pasar, kemajuan teknologi, perubahan pola persaingan, dll.; (2) menerapkan struktur organisasi yang tepat yang merefleksikan dan mempromosikan suatu kultur terbaik yang cocok terhadap bisnis bersangkutan (antara lain kondisi pasar/persiangan dan sifat produk atau proses produksi dari produk bersangkutan); (3) kreatif dalam pendanaan (jadi tidak hanya tergantung pada kontribusi anggota, tetapi juga lewat penjualan saham ke non-anggota atau pinjam dari bank); dan (4) mempunyai orientasi bisnis yang kuat. Sedangkan best practices menurut mereka adalah termasuk: (1) anggota sepenuhnya memahami industri-industri atau sektor-sektor yang mereka guleti dan kekuatan-kekuatan serta kelemahan-kelemahan dari koperasi mereka; (2) struktur organisasi atau pola manajemen yang diterapkan sepenuhnya didukung oleh anggota (sistem manajemen bisa secara kolektif atau dengan suatu struktur hirarki manajemen/dewan pengurus; (3) punya suatu misi yang didefinisikan secara jelas dan fokus; dan (4) punya pendanaan yang cukup.
Sedangkan menurut Pitman (2005) dari hasil penelitiannya terhadap kinerja berbagai macam koperasi di Wisconsin (AS), selain faktor-faktor di atas, koperasi yang berhasil adalah koperasi yang melakukan hal-hal berikut ini: (1) memakai komite-komite, penasehat-penasehat dan ahli-ahli dari luas secara efektif; (2) selalu memberikan informasi yang lengkap dan up to date kepada anggota-anggotanya sehingga mereka tetap terlibat dan suportif; (3) melakukan rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan bisnis dengan memakai agenda yang teratur, prosedur-prosedur parlemen, dan pengambil keputusan yang demokrasi; (4) mempertahankan relasi-relasi yang baik antara manajemen dan dewan direktur/pengurus dengan tugas-tugas dan tanggung jawab- tanggung jawab yang didefinisikan secara jelas; (5) mengikuti praktek-praktek akutansi yang baik, dan mempersentasikan laporan-laporan keuangan secara regular; (6) mengembangkan aliansi-aliansi dengan koperasi-koperasi lainnya; dan (7) mengembangkan kebijakan-kebijakan yang jelas terhadap konfidensial dan konflik kepentingan.
Keeling (2005) meneliti mengapa dalam beberapa tahun belakangan ini banyak koperasi-koperasi besar di California termasuk dua yang terkenal Tri-Valley Growers (TVG) dan the Rice Growers Association (RGA) telah tutup, sedangkan banyak lainnya sedang mengalami kesulitan-kesulitan keuangan. Perkembangan-perkembangan tersebut memberi kesan bahwa koperasi-koperasi di California mungkin semakin mengalami kesulitan untuk bersaing dalam iklim bisnis pertanian saat ini dengan persaingan yang semakin ketat dari produk-produk luar negeri termasuk dari China. Akhirnya, hasil studi tersebut mendukung hipotesis awal bahwa, RGA dan TVG tutup terutama akibat kombinasi dari sejumlah faktor berikut: (1) kurangnya pendidikan dan pengawasan dari dewan direktur/pengurus; (2) manajemen yang tidak efektif; dan (3) keanggotaan yang pasif.
Sedangkan bagi Anderson dan Henehan (2003), manajemen dan direktur yang efektif dalam arti cepat mengambil suatu keputusan yang tepat dalam merespons terhadap perkembangan-perkembangan bisnis terkait (misalnya perubahan pasar atau masuknya pesaing-pesaing baru) sangat menentukan keberhasilan suatu koperasi. Mereka harus memastikan bahwa dengan langkah-langkah yang cepat koperasi mereka bisa mendapatkan keberhasilan-keberhasilan yang maksimum. Menurut mereka, koperasi yang bisa berhasil atau paling tidak yang bisa survive dalam era persaingan yang semakin ketat ini, diantara faktor-faktor kunci lainnya, adalah yang dipimpin oleh dewan direktur berkualitas. Dan untuk mendapatkan direktur-direktur berkualitas adalah tugas para anggota untuk memilih mereka. Kemudian, dewan direktur bertanggung jawab dalam menyeleksi manajer yang berkualitas, mengembangkan suatu strategi yang kuat, dan mengimplementasikan suatu struktur keuangan yang baik. Selain itu, para anggota juga harus aktif memonitor kinerja dari koperasi, dewan dan manajemennya.
Di NM koperasi terutama di pertanian saat ini sedang mengalami perubahan akibat persaingan global yang semakin sengit dan perubahan selera konsumen. Di AS, akibat persaingan dari produk-produk pertanian dari luar negeri dan perubahan pola konsumsi, telah terjadi konsolidasi dari produksi pertanian. Pada tahun 1969 terdapat 2.730.250 petani di negara tersebut, dan pada tahun 1997 jumlahnya merosot ke 1.911.859, suatu penurunan 30%. Pada waktu yang sama, rata-rata skala usaha petani meningkat. Saat jumlah petani menurun dan jumlah produksi per petani meningkat, setiap individu pembeli produk-produk pertanian menjadi sangat penting bagi koperasi koperasi lokal pemasok dan pemasaran produk-produk pertanian. Pada waktu bersamaan, koperasi-koperasi pertanian tersebut yang menghadapi pembeli yang lebih sedikit, masing-masing dengan daya beli yang lebih besar, bersaing lebih agresif satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan pembeli/keuntungan. Industri-industri yang memasok petani (bibit, pupuk dll.) dan industri-industri pengolahan produk-produk pertanian sedang mengalami suatu periode dari konsolidasi, yang menyisakan lebih sedikit jumlah pemain untuk bersaing mendapatkan bisnis dari sisa produsen yang masih ada. Sebagai tambahan, perusahaan-perusahaan kunci di industri-industri tersebut dalam banyak kasus juga merupakan koperasi pemasok-pemasok dan pembeli-pembeli lokal produk-produk pertanian. Ini artinya pilihan menjadi lebih sedikit bagi koperasi saat harus menetapkan membeli dari dan menjual kepada siapa, yang mengurangi daya tawar dari koperasi lokal tersebut. Saat seperti ini dimana koperasi-koperasi lokal berjuang untuk menghadapi tantangan-tantangan seperti itu, banyak yang merespons dengan melakukan perubahan structural.
Dari penelitian mereka, Vandeburg, dkk. (2000) menemukan banyak manajer-manajer koperasi lokal melakukan perubahan struktural dengan cara bergabung, akuisisi, bekerja sama, dan melakukan aliansi strategis dengan koperasi-koperasi lainnya atau dengan perusahaan-perusahaan berorientasi investor. Dari penemuan tersebut, mereka menyimpulkan bahwa langkah-langkah seperti itu adalah sangat tetap agar koperasi-koperasi pertanian bisa survive atau tetap kompetitif dalam kondisi seperti yang digambarkan di atas.
Tetapi di atas segalanya, kualitas dari manajer atau dewan direktur sangatlah krusial. Mereka harus bisa membaca perkembangan tren-tren di pasar domestik dan global, baik yang sedang berlangsung saat ini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Mereka harus bisa merespons secara cepat dan tepat setiap perubahan yang terjadi.(Barr, 2005).
Dari pengamatannya terhadap perkembangan koperasi di AS, McKenna (2001) menjabarkan sejumlah karakteristik dari koperasi yang berhasil. Diantaranya yang paling menonjol adalah: (1) menerapkan strategi yang rasional yang cocok dengan lingkungan bisnisnya yang berlaku untuk bisa tetap beroperasi; (2) mempunyai suatu visi yang lebih luas dari hanya memproduksi bahan baku (produsen perlu memahami apa artinya menanam dalam nilai tambah); (3) keputusan-keputusan didasarkan pada informasi yang kredibel; (4) keuangan baik; (5) pemilik atau dewan direktur bisa memimpin dengan baik (dewan direktur yang lebih banyak diambil dari luar bisa menaikkan kemampuannya untuk membuat keputusan-keputusan strategis) ; (6) memakai/mengerjakan manajer professional (ini juga meningkatkan kinerja koperasi); dan (6) punya keinginan menjadi “yang paling hebat di kelompoknya” vs. “menambah rantai nilai”.
Dari penelitiannya terhadap perkembangan koperasi pertanian dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh koperasi di Uni Eropa (UE), Nello (2000) memberikan sejumlah langkah yang harus diambil agar koperasi pertanian bisa berkembang dengan baik, yang antara lain adalah (1) menghilangkan ketidakunggulan dari petani-petani skala kecil yang terfregmentasi dengan cara membantu mereka untuk mengkonsentrasi suplai, menstabilkan harga produsen, dan meningkatkan kekuatan tawar dari petani-petani (anggotanya); (2) menciptakan kesempatan atau kemampuan petani untuk mengeksploit skala ekonomis dan meningkatkan kapasitas mereka untuk bersaing pada suatu pasar yang lebih besar (misalnya pasar ekspor); (3) memperbaiki kualitas dan menaikkan orientasi pasar, dan dengan cara itu menolong petani untuk memenuhi permintaan-permintaan yang meningkat dari konsumen untuk produk-produk makanan yang bervariasi, aman, dan spesifik regional (spesialisasi); (4) membantu petani untuk bisa memperbaiki kualitas dalam proses produksi, pembungkusan, penyimpanan dan lain sebagainya sesuai standar-standar internasional yang berlaku; (5) memperbaiki kinerja manajemen, dewan direktur dan organisasi koperasi untuk meningkatkan kepuasan anggota; dan (6) menjamin sumber pendanaan yang cukup.
Dengan membandingkan koperasi perdesaan di Belanda dengan di Afrika Sub-Sahara, Braverman, dkk. (1991) menyimpulkan bahwa buruknya kinerja koperasi di Afrika Sub-Sahara (atau di banyak negara berkembang (NB) pada umumnya) disebabkan oleh sejumlah faktor yang bisa dibedakan antara faktor-faktor eksternal diluar kontrol koperasi dan faktor-faktor internal. Faktor-faktor internal terutama adalah keterbatasan partisipasi anggota, masalah-masalah struktural dan kontrol, dan kesalahan manajemen. Sedangkan faktor-faktor eksternal terutama adalah intervensi pemerintah yang terlalu besar yang sering didorong oleh donor, kesulitan lingkungan-lingkungan ekonomi dan politik, dan harapan-harapan yang tidak realistic dari peran dari koperasi. Menurut mereka, problem yang paling signifikan adalah cara bagaimana koperasi itu dipromosikan oleh pemerintah. Promosi yang sifatnya dari atas ke bawah telah menghalangi anggota untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan koperasi. Bentuk-bentuk organisasi dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan diatur oleh pihak luar. Jadi koperasi telah gagal untuk berkembang menjadi unit-unit yang mandiri dan sepenuhnya berdasarkan anggota. Masih dalam kaitan ini, Linstad (1990) mengatakan bahwa di banyak NB sering kali pemerintah melihat dan menggunakan koperasi sebagai suatu alat untuk menjalankan agenda-agenda pembangunannya sendiri. Koperasi sering diharapkan bahkan di paksa berfungsi sebagai kesejahteraan sosial dan sekaligus sebagai organisasi ekonomi, yang dengan sendirinya memberi beban sangat berat kepada struktur manajemen koperasi yang pada umumnya lemah. Menurut Braverman, dkk. (1991), sedikit sekali perhatian diberikan kepada kondisi-kondisi ekonomi dimana koperasi-koperasi diharapkan melakukan berbagai aktivitas. Promosi koperasi yang tidak diskriminatif, yakni tanpa memberi perhatian pada hal-hal seperti dinamik-dinamik internal, insentif, struktur kontrol, dan pendidikan dari anggota, sering kali telah membuat koperasi-koperasi menjadi organisasi-organisasi birokrasi yang sangat tergantung pada dukungan pemerintah dan politik. Oleh karena itu, Gentil (1990) menegaskan bahwa agar koperasi maju maka hubungan antara pemerintah dan koperasi yang didefinisikan ulang.
Rangkuman dari hasil Konferensi Tahunan Koperasi-Koperasi Petani, Oktober 29-20, 2001 di Las Vegas, Nevada (AS)menghasilkan beberapa butir penting yang disampaikan oleh pembicara-pembicara mengenai tantangan yang dihadapi oleh koperasi pada era sekarang ini. Diantaranya dari Larson, yakni sebagai berikut: (1) membangun suatu sistem koperasi yang menyatukan peran lokal dan peran regional; dalam kata lain bagaimana koperasi lokal dan koperasi regional bisa bekerja sama untuk jangka panjang); (2) menciptakan penghasilan yang cukup (atau menaikkan profit); (3) mengembangkan atau menyempurnakan strategi dan keahlian pemasaran (mensegmentasikan pasar hanya permulaan); (4) program-program SDM; dan (5) mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi e-commerce. Pesan paling utama dari Larson untuk koperasi-koperasi lokal adalah bahwa kinerja keuangan yang solid sangat penting; koperasi-koperasi harus mempunyai tujuan-tujuan penggerak/peningkatan kinerja.
Selain studi-studi kasus di atas, beberapa pengamat koperasi di Indonesia juga mencoba mengevaluasi keberhasilan koperasi di NM. Misalnya menurut Soetrisno (2001, 2003a,b,c), model-model keberhasilan koperasi di dunia umumnya berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti di Perancis dan Belanda dan produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika, khususnya AS dan di beberapa negara di Eropa. Dari evaluasinya, Soetrisno melihat ada beberapa syarat agar koperasi bisa maju, yakni: (i) skala usaha koperasi harus layak secara ekonomi;(ii) koperasi harus memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi;(iii) posisi koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar memperkuat posisi tawar koperasi;dan pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan SDM)..
Hasil lengkapnya (termasuk makalah-makalah dan/atau power point- power point dari para pembicara) dari konferensi ini dan konferensi pada tahun-tahun sebelumnya atau sesudahnya dapat dilihat di alamat berikut ini: www.wisc.edu/uwcc (University of Wisconsin Center for Cooperatives).
Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole" di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah "potensial customer-member" dari koperasi kredit (Soetrisno, 2001).
Soetrisno (2001) mengamati bahwa baik di NSB maupun di NM ada contoh-contoh koperasi yang berhasil yang mempunyai kesamaan yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu. Misalnya, keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun kecil, di NM dan NSB nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar dengan kehadiran koperasi. Dengan demikian koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat kukuh.
sumber :
http://www.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/pusat study tulus tambunan/pusat studi/program seminar/makalah seminar 2.doc