Selasa, 16 November 2010

STRATEGI PENGEMBANGAN UKM (KOPERASI)

Siapa yang menyangka bahwa rubber-seal, salah satu sparepart untuk mesin kendaraan baik mobil maupun motor perusahaan otomotif terkenal seperti Honda, Daihatsu, Toyota dan Isuzu adalah produk UKM?. Salah satu entrepreneur yang memiliki home industri, dengan 20 orang karyawan, di kawasan Cibaduyut merupakan pemasok rubber-seal ke beberapa perusahaan otomotif besar di Indonesia.

Bahkan data dari Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil menunjukan bahwa sudah banyak produk UKM yang diekspor. Angka ekspor produk UKM telah mencapat 159 trilliun pada tahun 2008, atau naik dibandingkan dengan nilai ekspor tahun sebelumnya yang hanya mencapai 140 trilliun. Angka ini sebenarnya masih kecil dibandingkan dengan peluang yang ada dan masih sangat bisa dikembangkan dengan cara mengatasi hambatan-hambatan pemasaran UKM di pasar Internasional dan beberapa strategi yang bisa dilakukan oleh pelaku UKM dan pemerintah. .

Sebenarnya telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah baik melalui pelatihan maupun supervisi yang dilakukan Departemen Indag Agro maupun Kementrian Negara Koperasi dan KUKM, dalam usaha mengembangkan UKM. Namun sepertinya, dengan adanya krisis ekonomi global, cita-cita pengembangan UKM dengan memperbesar pasar luar negeri semakin sulit dicapai. Disamping daya saing UKM di Indonesia yang masih rendah di pasar internasional.

Hambatan UKM di pasar Internasional

Sukses di pasar luar negeri memerlukan persyaratan yang sulit dipenuhi UKM diantaranya quantitas yang besar dan UKM dianggap kurang dapat bersaing dengan perusahaan besar. Dengan kata lain, untuk dapat berkompetisi secara global, kita harus besar.

Disamping itu, biaya untuk mempelajari lingkungan internasional terlalu besar untuk UKM, misalnya melakukan analisan pasar, memahami dokumentasi perdagangan internasional, adaptasi produk supaya cocok dengan pasar tujuan, biaya travel, belum lagi resiko-resiko finansial lainnya. Juga, mengelola saluran distribusi luar negeri dan network internasional merupakan biaya yang terlalu besar untuk para UKM.

Hambatan lainnya bagi UKM adalah akses informasi. Kurangnya informasi, pengetahuan dan pengalaman di pasar internasional merupakan tantangan bagi UKM. Laporan dari OECD dan APEC menyimpulkan bahwa 3 dari 4 hambatan UKM mengenai akses informasi ke pasar internasional adalah pemahaman pasar luar negeri. UKM mengalami kesulitas mengidentifikasi peluang bisnis internasional, terbatasnya informasi bagaimana menentukan dan menganalisa pasar dan ketidakmampuan mengontak konsumen potensial di LN (OECD dan APEC, 2007;12). Dengan adanya internet sekalipun, mengelola hubungan yang komplek masih dianggap sulit. Oleh karena itu para UKM di luar negeri sekalipun, lebih senang berbisnis dengan perusahaan yang tidak terlalu jauh baik secara geografis maupun budaya.

Untuk itu pemerintah baik melalui Kementrian Negara Koperasi dan KUKM maupun Departemen Indag Agro serta institusi terkait lainnya diharapkan dapat memfasilitasi dan memberikan kebijakan-kebijakan serta memiliki strategi dalam rangka menumbuhkan UKM. Dibawah ini adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan UKM.

Strategi Pengembangan UKM di Indonesia

Subkontrak

Diharapkan UKM akan berkembang menjadi perusahaan besar dan lambat laun akan dapat berekspansi ke pasar global. UKM harus bekerjasama yang saling menguntungkan dengan perusahaan besar.

Telah banyak kisah sukses dalam hal kolaborasi antara UKM dengan perusahaan besar di negara maju, diantaranya melalui subkontrak. Perusahaan Jepang sangat tergantung pada subkontrak dan tidak banyak melakukan intergasi vertical untuk spare-part maupun intermediate product-nya. Sistem ini telah pula banyak diterapkan di negara-negara Asia Timur seperti Korea, Hong Kong dan Taiwan (Yoshio Sato). Bahkan, Korea telah memberikan kebijakan khusus mengenai himbauan subkontrak ke UKM oleh perusahaan besar (OECD). Proses subkontrak ini sebenarnya cukup sederhana. UKM tidak harus terlibat langsung dalam proses produksi. Banyak mekanisme yang biasa diterapkan, misalnya pemberian suplai bahan baku, pemberian pinjaman dana, memberikan fasilitas pokok dan peralatan

Subkontrak sebetulnya tidak harus dari perusahaan di dalam negeri. Bisa juga perusahaan dari Luar Negeri yang memberikan subkontrak ke perusahaan di negera berkembang. Namun, dalam hal ini pemerintah harus memberikan kemudahan bagi perusahaan LN untuk mengadakan kerjasama subkontrak di Indonesia diantaranya dengan kemudahan peraturan/ birokrasi, kepastian hukum, dll.

Keterlibatan dalam Value Chains

Perusahaan kecil atau UKM dapat berpastisipasi dalam pasar global dengan menjadi bagian network dari supplier global. Network seperti ini disebut value chain. Value chain didefinisikan sebagai aktifitas-aktifitas yang diperlukan untuk membawa produk atau jasa dari mulai konsep, proses produksi, sampai pengiriman barang/ jasa ke konsumen. UKM bisa berperan sebagai partner perusahaan besar dalam rantai ini. Hubungan ini dapat sangat menguntungkan kedua belah pihak karena karakteristik UKM yang lebih fleksibel dan biaya transaksi yang murah karena lebih dekat dengan konsumen dan keputusan yang lebih cepat sementara perusahaan besar memanfaatkan ukurannya yang besar (economic of scale).

Dalam value chain global, perusahaan atau sekelompok perusahaan bisa hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sangat terbatas. Seperti halnya perusahaan subkontrak, mereka hanya mengerjakan, misalnya, disain produk, menggunakan material yang disuplai perusahaan lain. Perusahaan lain yang di maksudkan di sini bisa saja berlokasi ribuan kilometer. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam value chain ini merupakan UKM-UKM. Ternyata dalam prakteknya, melibatkan UKM-UKM ini lebih murah dari pada melakukan integrasi vertical dalam melakukan pekerjaan yang sama. Misalnya, pengrajin sepatu, produsen kulit dan produsen mesin lebih siap untuk melakukan kerjasama dibandingkan dengan perusahaan produsen sepatu melakukannya sendirian.

Mengembangkan Niche Market

Mengembangkan niche market merupakan salah satu strategi penting bagi UKM. Dalam strategi ini UKM memilih untuk menjadi pemain dalam produk yang sangat spesifik. Dengan menerapkan strategi ini, UKM bukan saja dapat berkompetisi dengan perusahaan besar tapi juga dapat meraih pasar ekspor. Strategi niche market ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu spesialisasi (specialized market) dan innovative niche.

Dalam suatu industri dengan diferensiasi produk, pertumbuhan UKM sangat tergantung pada kemampuan menciptakan niche market dan menghindari head-on competition dengan perusahaan besar. UKM bisa mempunyai daya saing yang lebih baik untuk produk atau jasa yang sangat spesifik (terspesialisasi) sementara keunggulan perusahaan besar adalah pada pasar yang terstandarisasi. Fleksibilitas UKM memungkinkan mereka menjadi spesialisasi di segmen pasar di mana mereka memiliki keunggulan. Jasa, misalnya, cenderung untuk sangat terspesialisasi dibandingkan dengan produk manufaktur. Jadi, ada peluang yang besar untuk UKM di sektor jasa.

Dengan menggunakan strategi niche market, banyak perusahaan kecil, sebenarnya menjadi pemain besar di pasar niche mereka. Mereka memiliki posisi pasar yang dominan dan dapat mengalahkan rival mereka dalam hal sumber daya dan kemampuannya.

Networking

Networking adalah link, baik formal maupun informal. Dalam era global, network antar perusahaan dapat membantu UKM untuk berkompetisi secara sejajar dengan perusahaan besar. Network juga dapat mempercepat proses pembelajaran. Mereka dapat memfasilitasi konfigurasi hubungan dengan supplier yang memungkinkan perusahaan-perusahaan berinovasi dan meningkatkan efisiensi dengan kegiatan kolaborasi.

Network dapat dibentuk atas dasar etnis, industri dan organisasi sosial. Fakta membuktikan bahwa hubungan komunitas memainkan peranan penting di dalam network bisnis. Kesamaan latar belakang budaya, kepercayaan dan prilaku memudahkan para anggota dari kelompok etnis memprediksi dan memahami tingkah laku dan kebutuhan anggota lainnya.

Network berbasis sosial memberikan jalan bagi perusahaan-perusahaan untuk mencari partner bisnis, termasuk di dalamnya asosiasi dagang dan industri yang dapat memberikan keuntungan yang tidak dapat diperoleh UKM secara sendiri-sendiri.

Kolaborasi UKM dalam sebuah netwok dapat memudahkan kesempatan, misalnya untuk keikutsertaan dalam pameran, mengadakan kontak dengan produsen atau konsumen, upgrade teknologi, pengembangan produk baru, peningkatan standar produk dan untuk menangkis ancaman pasar global



sumber :

http://www.brigezindonesia.com/artikel_merhid/MENYOAL STRATEGI PENGEMBANGAN UKM.doc

STRUKTURALISME EKONOMI: PARADIGMA BARU


Keterpurukan Indonesia tidak terlepas dari peran kelompok meanstream yang saat ini mendominasi pemikiran kaum ekonom Indonesia, padahal basis teori neo­klasikal yang melandasi pemikiran mereka saat ini terperangkap ke dalam konservativisme dan konven­sionalisme ekonomi, yang boleh dibilang makin obsolit dan ortodoks.

Konservatisme dan ortodoksi ilmu ekonomi mainstream telah dengan keras ditentang oleh kaum strukturalis yang telah membuktikan asumsi dasar ekonomi neo-klasikal yang berdasar self-interest tidak lagi valid, bahkan telah membentukkan akhlak ekonomi yang makin jauh dari hakikat ilmu ekonomi sebagai a moral science. Dari asumsi itu telah terjadi suatu self-fulfilling prophesy yang menciptakan mindset ekonomi dan membentuk para pelaku ekonomi benar-benar menjadi homo-economicus, meninggalkan moralitasnya sebagai homo-ethicus. Ilmu ekonomi akhirnya berada dalam suatu berantakan (turmoil). 3) Fundamentalisme pasar, sebagai inherensi asumsi dasar self-interest, mempergiat keterjerumusan ini.4) Kelompok mainstream menjadi identik dengan kelompok market fundamentalists.

Tantangan kita adalah tantangan budaya, yaitu merombak paradigma obsolit dalam pemikiran ekonomi untuk membentuk suatu mindset ekonomi baru yang menjamin kemandirian.

Pandangan strukturalistik yang diungkapkan oleh John Kenneth Galbraith, 5) kiranya baik untuk mengawali titik-tolak tentang kelemahan ekonomi pasar. Galbraith me­nyatakan bahwa internasionalisasi modal, pro­duksi dan perdagangan yang bebas sebagai wujud utama dari globalisasi, akan me­nimbulkan pember­dayaan ekonomi dan politik (empower­ment) bagi kalangan aktor ekonomi yang mampu atas korban the underclass, yaitu golongan kelas bawah yang hidup dalam ekonomi rakyat.

Paham strukturalisme, baik strukturalisme awal mau­pun neostrukturalis­me, adalah paham yang menolak ketim­pangan-ketimpangan struktural se­bagai sumber ke­tidakadilan sosial-ekonomi. Kaum strukturalis mengungkapkan dan mengusut ketim­pangan-ketimpangan struk­tural yang berkaitan pe­musatan penguasaan dan pemilikan aset eko­nomi, ketim­pangan distribusi penda­patan, produktivitas dan kesem­patan ekono­mi. Kepedulian akademik-ilmiah pemikir struktur­alis meliputi pula masalah ketimpangan dalam ke­lembagaan, partisipa­si dan emansipasi sosial-ekonomi, pengangguran, kemis­kinan struktural dan masalah ketergantungan serta subordinasi sosial-ekonomi.

Kaum struk­turalis menempatkan ilmu ekono­mi pada peran norma­tifnya, menjelajahi komposisi dan inter­relasi antara para aktor, sektor-sektor dan variabel-variabel ekonomi dalam rangka perwujudan keadilan dan kesetaraan sosial-eko­nomi. Apabila struk­tural­isme cen­derung menolak me­kanisme pa­sar-bebas adalah kare­na pasar-bebas secara inheren menum­buhkan ketidak­adilan sosial-ekonomi. Demi­kian itulah maka struk­tural­isme banyak menggelar tuntutan transfor­masi ekonomi dan trans­formasi sosial yang harus diang­gap inherent dalam proses pem­bangunan nasional. Dalam kaitan­nya dengan ancaman dominasi dan hege­moni kekuatan ekonomi global, maka dapatlah dipahami bahwa struk­turalisme ber­kaitan erat dengan nasi­onalisme ekonomi. 6)

Kelompok ekonomi “moneteris” kebanyakan beranjak dari pemikiran neoklasikal (market funda­mentalism), sedangkan kelompok ekonomi “sektor riil” lebih dekat dan memahami pemikiran, tetapi tidak selalu rukun dengan, kaum strukturalis.

Selanjutnya kaum strukturalis, yang mengo­reksi kele­mahan mendasar dari mekanisme pasar dan per­saingan-bebas, dengan makin bergeloranya globalisasi dengan kapital­isme globalnya, makin gen­car pula menun­juk­kan kebenaran analitik dan bukti-bukti empirik, betapa globalisasi perlu benar-benar diwaspadai. Kaum struk­turalis mulai meng­gunakan is­tilah-istilah keras untuk me­nyentak mindset neo­klasikal, seperti “global capitalism”, “turbo capital­ism”, “new im­perial­ism”, “cowboy capital­ism”, “Old West capitalism”, “the dangerous cur­rents”, “the winner-take-all market”, “the zero-sum society”, “the winner-take-all society”, dst. Jan Tinbergen mengatakan kepada saya (1992) bahwa lobang ozone makin besar karena kelakuan “the greedy capital­ism. Dalam platform Club of Rome, lebih lanjut Tinbergen menga­takan bahwa “the limits to growth dalam 20 tahun menjadi “beyond the limits 7) karena kera­kusan kapitalisme global.

Kaum strukturalis tidak saja menunjukkan kele­mahan (parsialitas) ekonomi neoklasikal, tetapi juga me­ngoreksi dan bahkan menolak asumsi dasarnya. Kegagalan pasar dan ketidaksempurna­an pa­sar dalam mewujudkan the invisible hand (yang diabaikan oleh kaum market fundamentalists) adalah yang salah satunya, tidak terselesai­kannya micro-macro rift 8) adalah yang lainnya, sehingga efisiensi ekonomi yang dikembangkan berdasar tataran mikro tidak klop, bahkan bisa bertentangan dengan efisien­si ekonomi pada tataran makro.

Ekonomi neoklasikal berdasar mekanisme per­saingan pasar-bebas terbukti tidak mampu me­nga­tasi ketimpangan-ketimpangan struktural untuk ter­laksananya trans­­­formasi ekonomi dan transfor­masi sosial yang ber­makna. Oleh karena itu struk­turalisme berorien­tasi pada strukturisasi dan re­strukturisasi ekonomi disertai interven­si mengatur dan mengontrol mekanisme pasar. Kele­mahan me­ka­nis­me pasar-bebas dalam perwujud­an demo­krasi ekono­mi adalah (istilah saya) mungkin sekadar mampu mengha­silkan “nilai-tambah ekono­mi” teta­pi tidak menjamin dapat menyumbangkan “ni­lai-tam­bah sosio-kultural” (menjangkau makna parti­si­pasi dan emansipasi kemartabatan), 9) dan pula tim­pang­nya struktur kekuasaan ekonomi, telah men­jadi tema-tema utama dalam pe­mikiran eko­nomi strukturalis.

Strukturalisme peduli akan harkat manusia dalam lingkup moralitas ekonomi. Strukturalisme menolak homo economicus yang melahirkan akhlak homo homini lupus, menolak eksploitasi, pelumpuh­an (disempower­ment) dan pemiskinan (impoverish­ment) sosial-ekonomi. Apabila eko­nomi neoklasikal ber­orientasi pada per­tumbuhan (growth), maka eko­nomi struk­turalis le­bih mengutama­kan masalah redistribusi dan lapangan kerja (employ­ment). Bo­leh dibilang, sebagai upaya mengubah mindset atau pakem ekonomika, awal dari struktural­isme terutama ada­lah pe­mikiran ke arah “it is employment that will take care of growth”. 10)

Bagi Indonesia,11) pemikiran-pemikiran stra­tegis, cermat dan mendalam mengenai ketim­pangan-ketimpangan struktural harus tetap dikem­bangkan. Hanya dengan demikian maka kebijakan restruk­turisasi untuk mengatasi ketimpangan struk­tural da­pat didesain. Saya menawarkan beberapa butir kebi­jakan restrukturisasi ekonomi dalam artian refor­masi makro yang meliputi berbagai sektor, bidang dan dimensi a.l. seperti berikut: (1) Restruk­turisasi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi: Pemilikan dan penguasaan aset oleh rakyat harus makin merata dan dapat mengurangi secara struk­tural konsentrasi-konsentrasi pemilikan dan pe­nguasaan aset pada sekelompok kecil aktor-aktor ekonomi. Setiap usaha ekonomi harus dapat meningkatkan pemilikan bu­kan sekadar meningkat­kan pendapatan masyarakat secara merata. Restrukturisasi ini diarahkan untuk membentukkan “Triple-Co”, yaitu co-ownership, co-determination dan co-responsibility sebagai im­plementasi demokratisasi ekonomi di dalam badan-badan usaha ekonomi (lihat Bagan II). Dalam re­strukturisasi ini hendaknya dihindarkan suatu pe­rampasan seperti ("savage acquisition", "canni­bal redistribution" atau "wild take-over"). (2) Restruk­turisasi alokatif: Menyang­kut alokasi dana-dana pembangunan, baik dana ang­garan nasional ataupun daerah, baik yang berasal dari perbankan ataupun dari lembaga-lembaga non-bank. Bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan non-bank harus tetap memelihara perannya sebagai agen pembangunan, agen reformasi dan agen re­strukturisasi ke arah ter­capainya keseimbangan struktural yang lebih baik. (3) Restrukturisasi spasial (spatial): Restruk­turisasi ini diperlukan antara lain untuk mencapai peme­rataan dan keseimbangan pem­bangunan serta per­tumbuhan antara kawasan barat Indonesia dan ka­wasan timur Indonesia, an­tara Jawa dan luar Jawa, antara perkotaan dan per­desaan, dan seterus­nya. (4) Restrukturisasi sektoral: Hal ini diperlukan terutama untuk mencapai keseim­bangan dinamis antara sek­tor industri dan sektor pertanian, antara sektor for­mal-modern dan sektor informal-tradisional, antara sektor-sektor yang grassroots-based dan yang non­grassroots-based, menuju kukuhnya perekonomian rakyat (dengan wadah koperasi) sebagai sokoguru perekonomian nasional. (5) Restrukturisasi perpa­jakan: Selain berperan sebagai sumber penerimaan negara, pajak ada­lah sarana redistribusi. Pada da­sarnya pajak harus progresif untuk mempersempit kesenjangan. Khu­susnya ter­hadap kekayaan dan pe­milikan barang mewah harus dikenakan pajak kekayaan secara progresif. Sebalik­nya terhadap ke­lompok miskin yang memerlukan pemberdayaan di­berikan subsidi atau proteksi. Pajak merupakan in­sentif untuk kegiatan produktif dan disinsentif ter­hadap kon­sumsi mewah. (6) Restruk­turisasi stra­tegis: Restruk­turisasi ini untuk memper­kukuh ke­mandirian eko­nomi, mengurangi depen­densi dan meningkat­kan interdependensi resiprokal yang se­imbang dan di­perlukan untuk memperkukuh fun­damental eko­no­mi. Dengan restrukturisasi stra­tegis ini perekono­mian nasional diarahkan untuk berakar di dalam-negeri dan menjadi people-centered dan resources-based. (7) Restruk­turisasi pola-pikir atau reorientasi budaya: GBHN telah mendorong reorien­tasi sema­cam ini, yakni antara lain reorientasi ke arah lebih banyak mem­buka akses akan hak-hak rak­yat dan mengembangkan perekonomian rakyat me­lalui sis­tem ekonomi berdasar demokrasi ekonomi. (8) Restrukturisasi sosial-politik dan sosial-budaya: Restruk­turisasi ekonomi ini tidak akan sepenuhnya berman­faat apabila tidak didu­kung oleh restrukturi­sasi di bidang sosial-politik dan sosial-budaya. Re­strukturisasi sosial-politik menyangkut demokratisasi politik dan peran masyarakat madani. Restrukturi­sasi sosial-budaya menyangkut upaya mengubah mindset, melakukan unlearn­ing terha­dap pakem-pakem usang, khusus­nya re­strukturisasi dan demokratisasi pendi­dikan rakyat. 12)

Sementara itu Sritua Arief salah satu tokoh strukturalis utama Indonesia mengecam ilmu ekonomi neoklasikal yang menjadi roh globalisasi, dengan menegaskan bahwa ia menentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pasar-bebas dalam ruang lingkung internasional yang tidak adil dan bahwa pasar harus di intervensi. 13


3) Lester C. Thurow, Gurubesar Ekonomi pada MIT menegaskan: “ economics is in the state of turmoil the economics of the textbooks and of the graduate schools not only still teach price-auction model but it is moving toward narrower and narrower interpretations … the mathemati­cal sophistication intensifies as an under­stand­ing of the real world diminishes… economics cannot do without simplifying assumptions, but the trick is to use the right assumption at the right time, and this judgement has to come from empirical analys­es including those employ­ed by historians, psycho­logists, sociologists and poli­tical sci­entists…”, lihat Lester C. Thurow, The Dengerous Currents: The State of Economics (New York: Random House, 1983), hlm. 236-237.

4) Robert Heilbroner salah satu tokoh besar Amerika Serikat dalam ilmu ekonomi dan Lester C. Thurow secara konsisten menegaskan mengenai the defects of the market sebagai berikut: “… the market is an insufficient instrument for provisioning society, even rich societies the market is assiduous servant of the wealthy, but indifferent servant of the poor market system promote amoral­ity, it is not just an economic failure, but it is a moral failure…, lihat Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow, Economics Explained (New York: Simon Schuster, edisi baru, 1994), hlm. 255-256; sementara itu George Soros mengatakan: “… But market fundamentalism has become so powerful that any political forces that dare to resist it are branded as sentimental, illogical, and naïve. …Yet the truth is that market fundamen­talism is itself naïve and illogical. Even if we put aside the bigger moral and ethical questions and concentrate solely on the economic arena, the ideology of market fundamentalism is profoundly and irredeemably flawed. To put the matter sim­ply, market forces, if they are given complete authority even in the purely economic and finan­cial arenas, produce chaos and could ultimately lead to the downfall of the global capitalist system. This is the most important practical implication of my argument in this book…”; lihat George Soros, the Crisis of Global Capitalism (New York: Public Affairs, 1998), hlm. xxii.

5) Lihat John Kenneth Galbraith, The Culture of Con­tent­ment (Boston: Houghton Mifflin, 1992).

6) Lihat Leah Greenfeld, the Spirit of Capitalism:…, op. cit., hlm. 4.

7) Lihat Meadows, Donella H., et al., The Limits to Growth (New York: Universe Books, 1972). Duapuluh tahun kemudian, sebagai kelanjutan dan evaluasinya, ternyata ‘limits’ itu telah dilampaui, lihat Meadows, Donella H, et al., Beyond the Limits, Forward by Jan Tinbergen (Vermont: Chelsea Green, 1992).

8) Heilbroner dan Thurow menyebutkannya sebagai “micro-macro ills”, Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow, Economics Explained, op. cit, hlm. 256. Dalam ruang kelas akan bisa sangat menarik membicarakan asumsi constant returns to scale vs increasing returns to scale dan transformasinya dari tataran mikro ke tataran makro. Para pengajar dianjurkan untuk membaca “the new growth economics” sebagaimana dikemu­kakan oleh Samuelson yang berkaitan dengan capital deepening, increasing returns to scale, external scale economics, lihat Paul A. Samuelson, “Sparks and Grit from the Anvil of Growth”, dalam Gerald M. Meier dan Joseph E. Stiglitz (eds.), Frontiers of Development Economics (Washington DC: IBRD/Oxford Univer­sity Press, 2001), hlm. 492-505.

9) Lihat beberapa artikel dalam Sri-Edi Swasono, Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat (Jakarta: UI-Press, 1992); lihat pula Sri-Edi Swasono, Dari Lengser ke Lengser: Reformasi Menjadi Deformasi (Jakarta: UI-Press, 2001), op.cit.

10) Dikatakan Mahbub ul Haq “… we were tought to take care of GNP as this will take care of poverty. Let us reverse this and take care of the poverty…” (yang dimaksud melalui employment, pen.) as this will take care of GNP”, lihat Mahbub ul Haq, “Employment and Income Distribution in the 1970’s: A New Perspective”, Development Digest, October 1971, hlm. 7. Lihat pula Sri-Edi Swasono, “Prospek dan Perkembangan Per­ekonomian Rakyat/UKM: Antara Kedaulatan Rakyat dan Ke­daulat­an Pasar”, mimeo, Diklatpim, LAN, Denpasar, 21-22 Maret 2002.

11) Lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi (Yogyakarta: UGM-PUSTEP, 2003), hlm. 36-38.

12) Lihat Sri-Edi Swasono, Pem­bangunan Berwawasan Sejarah: Kedaulatan Rak­yat, Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik (Jakarta: UI-Press, 1990), hlm. 26-43.

13) Dalam Kata Sambutan pada buku Sri-Edi Swasono, Sritua Arief mengatakan: “…Saya dan Saudara Sri-Edi menentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pasar-bebas dalam ruang lingkup internasional yang tidak adil. Pasar harus diintervensi, justru perlu ada a visible hand untuk me­ngatur pasar demi kepentingan negara dan kemas­lahatan masyarakat. Itulah sebabnya kami menolak internasio­nalisasi modal, produksi, dan perdagangan secara bebas. Ini akan merunyamkan ekonomi rakyat bangsa kita…”, lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose …, op. cit., hlm. xii.





sumber :

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sri-edi-swasono/berita/ekonomi_rakyat.doc

KEMANDIRIAN EKONOMI: MENGHAPUS SISTEM EKONOMI SUBORDINASI MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT

Transformasi Ekonomi dan Transformasi Sosial

Secara sadar sejak Indonesia merdeka dan menetapkan UUD 1945 telah dengan tegas digariskan kebijaksanaan nasional untuk melakukan “transformasi ekonomi” dan “transformasi sosial”.

Dalam kehidupan ekonomi makna transformasi ekonomi berhakikat “merubah sistem ekonomi kolonial yang subordinatif menjadi sistem ekonomi nasional yang demokratis”. Para pendiri Republik dengan sangat bijaksana dan hati-hati menghidari kemungkinan terjadinya chaos dalam pelaksanaan transformasi ekonomi itu. Oleh karenanya ditetapkan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945 yang berbunyi: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dengan demikian maka berlakulah “dualisme” di dalam sistem ekonomi nasional. Sistem pertama berdasarkan paham demokrasi ekonomi yang secara imperatif sesuai Pasal 33 UUD 1945 (yaitu paham ekonomi berdasar “kebersamaan dan asas kekeluargaan”, mutualism dan brotherhood); dan sistem kedua berdasar paham individualisme atau “asas perorangan” mengikuti ketentuan Wetboek van Koophandel (KUHD) sesuai Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut.

Mengingat berlakunya sistem kedua (yang berdasar pada “asas perorangan”) sesuai dengan aturan yang bersifat “temporer” itu, maka di dalam menyusun sistem ekonomi nasional “asas perorangan” (yang menjadi dasar liberalisme dan hidupnya kapitalisme) seharusnyalah bersifat temporer pula. Dalam kaitan tugas transformasi ekonomi ini maka Negara secara imperatif harus memiliki komitmen tegas untuk menyusun perekonomian (kultur ekonomi dan bisnis) ke arah paham ekonomi yang berdasar pada “usaha bersama dan asas kekeluargaan”, kemudian menanggalkan paham ekonomi yang berdasar pada “asas perorangan”. Dengan kata lain, transformasi ekonomi berarti secara bertahap kita mem-Pasal 33-kan KUHD.

Ada alasan hukum, yaitu masih dipertahankan berlakunya asas perorangan sesuai ketentuan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945, yang juga mengakibatkan kita mudah bersambung dan terdikte oleh kekuatan ekonomi dari luar yang berdasarkan individualisme, liberalisme dan kapitalisme, yang saat ini dengan deras di bawa oleh gelombang globalisasi. Sementara itu sistem ekonomi pasar-bebas (berdasar market fundamen­talism) adalah sistem yang memelihara dan mempertahankan tuntutan kultur ekonomi kapitalisme dahsyat yang eksploitatori dan predatori.

Dalam pada itu keterdiktean, ketertundukan, ketakmandirian dan ketergan­tungan ekonomi terus berkelanjutan dengan tetap langgengnya budaya ekonomi subordinasi, yang mempertahankan hegemoni ekonomi dan menumbuhkan dependensi baru.

Hubungan ekonomi subordinasi tuan-hamba, taoke-koelie atau juragan-buruh (suatu economic slavery system sebagaimana berlaku pada zaman usaha VOC, pasca VOC, cultuurstelsel dan pasca cultuurstelsel) secara imperatif perlu kita ubah menjadi hubungan ekonomi yang demokratis, yaitu hubungan ekonomi yang partisipatori-emansipatori. Inilah transformasi sosial yang harus kita lakukan. PIR (Perkebunan Inti Rakyat) adalah cultuurstelsel baru. PIR bukan lagi sesuai dengan NES (Nucleus Estate Small-Holders) sebagai model empowerment aslinya, di mana inti seharusnya dimiliki (sebagian/seluruhnya) oleh plasma, di mana hubungan keduanya adalah keber­samaan, inti tidak mensubordinasi plasma seperti kenyataannya sekarang.

Transformasi sosial ini tidak mudah terlaksana. Transformasi sosial ternyata harus menempuh suatu proses budaya melalui pertentangan kepentingan sosial-ekonomi, dari yang keras terbuka hingga ke yang subtil, berhadapan dengan budaya feodalistik (patronisasi) dan servilisme (keinlander­an) yang tidak mendukungnya. Dalam kaitan dengan percaturan ekonomi antar negara hubungan ekonomi subordinasi sangat diwarnai oleh persistensinya inferiority complex bangsa ini, suatu budaya hidup yang tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Dengan makin melunturnya nasionalisme, maka hubungan ekonomi subordinasi ini hidup kembali dan sekaligus makin memperpuruk bangsa Indonesia.

Apakah keterpurukan seperti yang disinggung di atas berarti pula bangsa ini telah mengingkari “nasionalisme” sebagai kekuatan dahsyat yang inherent dan aktual, sebagai penggerak utama per­kembangan ekonomi nasional, sebagaimana ditegaskan sebagai suatu kenyataan riil oleh Joan Robinson, Leah Greenfeld, Ian Lustic dst 2) sebagaimana saat ini tetap merupakan kenyataan riil? Nasionalisme baru tetap menolak dependensi, namun mendorong interdependensi global, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global.



2) Mengenai nasionalisme dapat saya kutipkan: “…The very nature of economics is rooted in nationalism…The aspirations of the developing coun­tries are more for national independence and national self-respect than just for bread to eat… The hard-headed Classicals were in favor of Free Trade because it was good for Great Britain, not because it was good for the World …”, lihat Joan Robinson, Economic Philosophy, Chicago: Aldine Publishing, 1962; “… Today, it is claimed, we live in the period of late capitalism, and possibly in the postindustrial society, yet nationalism … is not gone, nor does it show any signs of being gone soon…. Nationalism first appeared in England, becoming the preponderant vision of society there… the sustained growth charac­teristic of modern economy is not self-sustained; it is stimulated and sustained by national­ism…”, lihat Leah Greenfeld, The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2001; “… It has been a commonplace to view nationalism as the greatest, the most powerful single force in the modern world…”, lihat Ian S. Lustick, Hegemony and The Riddle of Nationalism, Logos 1.3 – Summer 2002, hlm. 18.




sumber :

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sri-edi-swasono/berita/ekonomi_rakyat.doc

Potret Singkat Kinerja Koperasi di Indonesia

Berdasarkan data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM, sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 71,50%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Tahun 2006 tercatat ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit. Sedangkan menurut Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Adi Sasono, yang diberitakan di Kompas, Kamis, per 31 Mei 2007 terdapat 138.000 koperasi di Indonesia, namun 30 persennya belum aktif.[1]Informasi terakhir dari Triyatna (2009), jumlah koperasi tahun 2007 mencapai 149.793 units, diantaranya 104.999 aktif, atau sekitar 70% dari jumlah koperasi dan sisanya 44.794 non-aktif (Tabel 4). Selama periode 2006-2007, jumlah koperasi aktif tumbuh 6,1% sedangkan laju pertumbuhan koperasi tidak aktif sekitar 5,7%. Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.

Tabel 4: Perkembangan Usaha Koperasi, 1998-2007*

Periode

Jumlah unit

Jumlah anggota

(juta orang)

Koperasi aktif

RAT (% dari koperasi aktif

Jumlah

%

Des. 1998

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

52.000

103.077

110.766

117.906

123.181

130.730

132.965

141.738

149.793

..

27,3

23,7

24,001

27,3

27,5

27,4

28,1

..

..

..

96.180

..

93.800

93.402

94.818

94.708

104.999

..

86,3

81,0

78,9

76,20

71,50

71,0

70,1

70,00

..

40,8

41,9

46,3

47,6

49,6

47,4

46,7

..

* Lihat lampiran untuk data paling akhir (September 2008) dan menurut propinsi.

Sumber: Menegkop & UKM

Mengenai jumlah koperasi yang meningkat cukup pesat sejak krisis ekonomi 1997/98, menurut Soetrisno (2003a,c), pada dasarnya sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan hingga 2001 sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi.[2]

Salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur kinerja koperasi adalah perkembangan volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU). Data yang ada menunjukkan bahwa kedua indikator tersebut mengalami peningkatan selama periode 2000-2006. Untuk volume usaha, nilainya naik dari hampir 23,1 triliun rupiah tahun 2000 ke hampir 54,8 triliun rupiah tahun 2006; sedangkan SHU dari 695 miliar rupiah tahun 2000 ke 3,1 triliun rupiah tahun 2006. (Tabel 5). Menurut data paling akhir yang ada yang dikutip oleh Triyatna (2009), pada tahun 2007 jumlah SHU koperasi aktif mencapai 3.470 miliar rupiah sedangkan modal luar koperasi aktif sekitar 23.324 miliar rupiah. Selama periode 2006-2007, pertumbuhan SHU sekitar 7,9% dan modal luar 5,7%.

Tabel 5: Perkembangan Usaha Koperasi, 2000-2006*

Periode

Rasio modal sendiri dan modal luar

Volume usaha

(Rp miliar)

SHU (Rp miliar)

SHU terhadap volume usaha (%)

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

0,55

0,72

0,58

0,63

0,71

0,71

0,77

..

23.122

38.730

26.583

31.684

37.649

34.851

54.761

..

695

3.134

1.090

1.872

2.164

2.279

3.131

3.470

3,00

8,09

4,1

5,91

5,75

6,54

5,72

..

* Lihat lampiran untuk data paling akhir (September 2008) dan menurut propinsi.

Sumber: Menegkop & UKM

Memasuki tahun 2000 koperasi Indonesia didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55%-60% dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Hingga akhir 2002, posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah Bank Rakyat Indonesia (BRI)-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi (Soetrisno, 2003c).

Berdasarkan data propinsi 2006, jumlah koperasi dan jumlah koperasi aktif sebagai persentase dari jumlah koperasi bervariasi antar propinsi. Pertanyaan sekarang adalah kenapa jumlah koperasi atau proporsi koperasi aktif berbeda menurut propinsi? Apakah mungkin ada hubungan erat dengan kondisi ekonomi yang jika diukur dengan pendapatan atau produk domestic regional bruto (PDRB) per kapita memang berbeda antar propinsi? Secara teori, hubungan antara koperasi aktif dan kondisi ekonomi atau pendapatan per kapita bisa positif atau negatif. Dari sisi permintaan (pasar output), pendapatan per kapita yang tinggi yang membuat prospek pasar output baik, atau pasar output dalam kondisi booming, memberi suatu insentif bagi perkembangan aktivitas koperasi karena pelaku-pelaku koperasi melihat besarnya peluang pasar (ceteris paribus). Fenomena yang bisa disebut efek demand-pull. Dari sisi penawaran (pasar input; dalam hal ini petani atau produsen), pendapatan per kapita yang tinggi yang menciptakan peluang pasar atau peningkatan penghasilan bagi individu petani atau produsen bisa menjadi suatu faktor disinsentif bagi kebutuhan para petani atau produsen untuk membentuk koperasi. Fenomena yang dapat disebut supply-push.[3]



[1] Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah keterbatasan modal yang dialami banyak koperasi untuk mengembangkan usaha mereka.. Hal ini merupakan salah satu imbas kenaikan harga bahan bakar minyak tahun 2004 lalu, sehingga anggota koperasi kekurangan modal untuk tabungan. Penyebab lainnya, pemerintah kurang menjalankan perannya sebagai pembina koperasi, dan kebijakan yang digulirkan tidak mendukung pengembangan koperasi rakyat. Ia memberi contoh, kebijakan pemerintah yang menyebabkan koperasi pasar tradisional semakin tersingkir oleh pasar modern. Menurutnya, perbankan juga kerap tidak berpihak pada koperasi kecil. Koperasi kecil kerap kesulitan mendapat pinjaman modal untuk pengembangan usaha.

[2] Namun demikian, menurut Soetrisno (2001), pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong kembalinya pola spesialisasi koperasi..

[3] Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan, kenapa, menurut data BPS, jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) setiap tahun meningkat? Apakah peningkatan tersebut mencerminkan perkembangan kewirausahaan (demand-pull) atau suatu refleksi dari tingginya jumlah pengangguran atau tingkat kemiskinan (supply-push).




sumber :

http://www.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/pusat study tulus tambunan/pusat studi/program seminar/makalah seminar 2.doc

Faktor-faktor Keberhasilan Koperasi Di Negara-Negara Maju Bagian Dari Pembelajaran Bagi Koperasi Indonesia

Hebatnya perkembangan dari koperasi-koperasi di negara-negara maju tersebut memberi kesan bahwa koperasi tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis. Sebaliknya, koperasi-koperasi tersebut tidak hanya mampu selama ini bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar non-koperasi, tetapi mereka juga menyumbang terhadap kemajuan ekonomi dari negara-negara kapitalis tersebut. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa koperasi lahir pertama kali di Eropa yang juga merupakan tempat lahirnya sistem ekonomi kapitalis.

Banyak studi-studi kasus atau laporan-laporan mengenai keberhasilan dari koperasi-koperasi di NM. Misalnya dari Trechter (2005) mengenai the Fonterra Cooperative Group (FCG) di Selandia Baru (SB) dan the Australian Wheat Board (AWB). Dalam suatu jangka waktu yang relatif pendek, pemasaran susu di SB telah berubah dari suatu sektor yang terfrakmentasi ke dalam sejumlah koperasi yang saling bersaing ke satu sektor yang didominasi oleh satu koperasi. Tahun 1996 ada 14 koperasi susu di SB. Sekarang hanya ada satu koperasi susu yang besar, yakni FCG, dan dua yang kecil berbasis regional yang beroperasi di SB. Tahun 2000, Kiwi Cooperative Dairies (Kiwi) dan New Zealand Dairy Group (NZDG) mendominasi industri susu di SB dan mereka adalah pesaing-pesaing berat. Negosiasi-negosiasi antara Kiwi dan NZDG yang akhirnya membuat terbentuknya FCG sangat lama dan alot. Menurut website-nya, FCG adalah korporasi terbesar di SB, dengan 7% dari PDB negara itu, menyumbang sekitar 20% dari cadangan devisa SB, dan perusahaan susu terbesar ke empat di dunia (http://fonterra.com). FCG melalui Kiwi Dairies dan NZDG memiliki sejumlah merek konsumen yang sangat kuat, diantaranya Anchor, Peters and Brownes, dan Tip Top. FCG punya sekitar 12.300 anggota dan fasilitas-fasilitas produksi di Brazil dan Australia, selain di SB. FCG secara cepat memperluas pengaruhnya di pasar susu di Australia dengan membeli Australian Food Holdings, bagian dari National Food dan upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk memperluas kepemilikannya dari Koperasi Bonlac dari 25% ke 50%. Tujuan utama dari didirikannya FCG adalah untuk mencapai penghematan biaya-biaya dan untuk menyediakan suatu landasan yang lebih efektif untuk bisa bersaing di pasar-pasar susu global. Kedua tujuan ini mempromosikan penggabungan dua tipe yang teridentifikasi dari penghematan-penghematan biaya-biaya. Pertama, rasionalisasi dari rantai suplai diharapkan dapat menciptakan penghematan-penghematan yang substansial. Fasilitas-fasilitas dan posisi-posisi yang duplikat dieliminasi lewat penggabungan itu. Kedua, penggabungan itu diharapkan bisa membuat FCG mampu merealisasikan skala ekonomis, yang berarti biaya rata-rata, yang berarti juga harga jual rata-rata per satu unit output menjadi murah.

Pendirian FCG waktu itu diharapkan bisa meningkatkan kemampuan dari industri susu SB untuk bersaing di pasar-pasar internasional. FCG cocok dengan definisi dari suatu generasi baru dari koperasi dalam banyak hal: (1) koperasi tersebut dimiliki dan diawasi oleh pemakai (dengan pemberian suara berdasarkan jumlah susu yang diserahkan bukan berdasarkan satu orang-satu suara); (2) keuntungan-keuntungan dibagikan berdasarkan pemakaian; (3) FCG bukan sepenuhnya suatu koperasi berdasarkan keanggotaan karena koperasi itu harus menerima pemasok-pemasok baru; (4) FCG punya suatu hubungan kontraktual dengan produsen-produsennya yang harus punya satu bagian dari stok susu FCG untuk setiap kilo dari susu yang akan diserahkannya.

Karakteristik penting lainnya dari FCG adalah bahwa koperasi tersebut mempunyai suatu fokus yang kuat pada pembuatan produk-produk yang bervariasi yang menciptakan kesetiaan pembeli dan harga premium.

AWB juga memiliki suatu sejarah yang panjang. Didirikan oleh pemerintah Australia pada tahun 1939 dan memberikan otoritas untuk mengekspor gandum. Pada tahun 2001 AWB ekspor lebih dari 15 juta mt, gandum dan mempunyai pembeli-pembeli di lebih dari 40 negara. AWB punya saham 3% dari jumlah ekspor dan 12% dari ekspor pertanian Australia. Di dalam konteks Australia dan pasar gandum global, AWB adalah pemain utama. Pada tahun 2001, AWB memegang saham terbesar kedua (17%) dari penjualan-penjualan di pasar gandum global.

Peterson (2005), mengatakan bahwa koperasi harus memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif dibandingkan organisasi-organisasi bisnis lainnya untuk bisa menang dalam persaingan di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini. Keunggulan kompetitif disini didefinisikan sebagai suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu perusahaan di posisi terdepan dibandingkan pesaing-pesaingnya. Faktor-faktor keunggulan kompetitif dari koperasi harus datang dari: (1) sumber-sumber tangible seperti kualitas atau keunikan dari produk yang dipasarkan (misalnya formula Coca-Cola Coke) dan kekuatan modal; (ii) sumber-sumber bukan tangible seperti brand name, reputasi, dan pola manajemen yang diterapkan (misalnya tim manajemen dari IBM); dan (iii) kapabilitas atau kompetensi-kompetensi inti yakni kemampuan yang kompleks untuk melakukan suatu rangkaian pekerjaan tertentu atau kegiatan-kegiatan kompetitif (misalnya proses inovasi dari 3M). Menurutnya, salah satu yang harus dilakukan koperasi untuk bisa memang dalam persaingan adalah menciptakan efisiensi biaya. Tetapi ini juga bisa ditiru/dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lain (non-koperasi). Jadi, ini bukan suatu keunggulan kompetitif yang sebenarnya dari koperasi. Menurutnya satu-satunya keunggulan kompetitif sebenarnya dari koperasi adalah hubungannya dengan anggota. Misalnya, di koperasi produksi komoditas-komoditas pertanian, lewat anggotanya koperasi tersebut bisa melacak bahan baku yang lebih murah, sedangkan perusahaan non-koperasi harus mengeluarkan uang untuk mencari bahan baku murah.

Loyd (2001) menegaskan bahwa koperasi-koperasi perlu memahami apa yang bisa membuat mereka menjadi unggul di pasar yang mengalami perubahan yang semakin cepat akibat banyak faktor multi termasuk kemajuan teknologi, peningkatan pendapatan masyarakat yang membuat perubahan selera pembeli, penemuan-penemuan material baru yang bisa menghasilkan output lebih murah, ringan, baik kualitasnya, tahan lama, dsb.nya, dan makin banyaknya pesaing-pesaing baru dalam skala yang lebih besar. Dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut, menurutnya, faktor-faktor kunci yang menentukan keberhasilan koperasi adalah: (1) posisi pasar yang kuat (antara lain dengan mengeksploitasikan kesempatan-kesempatan vertikal dan mendorong integrasi konsumen); (2) pengetahuan yang unik mengenai produk atau proses produksi; (3) sangat memahami rantai produksi dari produk bersangkutan; (4) terapkan suatu strategi yang cemerlang yang bisa merespons secara tepat dan cepat setiap perubahan pasar; dan (5) terlibat aktif dalam produk-produk yang mempunyai tren-tren yang meningkat atau prospek-prospek masa depan yang bagus (jadi mengembangkan kesempatan yang sangat tepat).

Berdasarkan penelitian mereka tehadap perkembangan dari koperasi-koperasi pekerja di AS Lawless dan Reynolds (2004) memberikan beberapa kriteria kunci dan praktek-praktek terbaik. Menurut mereka, kriteria-kriteria kunci untuk memulai suatu koperasi yang berhasil adalah sebagai berikut: (1) memiliki kepemimpinan yang visioner yang bisa “membaca” kecenderungan perkembangan pasar, kemajuan teknologi, perubahan pola persaingan, dll.; (2) menerapkan struktur organisasi yang tepat yang merefleksikan dan mempromosikan suatu kultur terbaik yang cocok terhadap bisnis bersangkutan (antara lain kondisi pasar/persiangan dan sifat produk atau proses produksi dari produk bersangkutan); (3) kreatif dalam pendanaan (jadi tidak hanya tergantung pada kontribusi anggota, tetapi juga lewat penjualan saham ke non-anggota atau pinjam dari bank); dan (4) mempunyai orientasi bisnis yang kuat. Sedangkan best practices menurut mereka adalah termasuk: (1) anggota sepenuhnya memahami industri-industri atau sektor-sektor yang mereka guleti dan kekuatan-kekuatan serta kelemahan-kelemahan dari koperasi mereka; (2) struktur organisasi atau pola manajemen yang diterapkan sepenuhnya didukung oleh anggota (sistem manajemen bisa secara kolektif atau dengan suatu struktur hirarki manajemen/dewan pengurus; (3) punya suatu misi yang didefinisikan secara jelas dan fokus; dan (4) punya pendanaan yang cukup.

Sedangkan menurut Pitman (2005) dari hasil penelitiannya terhadap kinerja berbagai macam koperasi di Wisconsin (AS), selain faktor-faktor di atas, koperasi yang berhasil adalah koperasi yang melakukan hal-hal berikut ini: (1) memakai komite-komite, penasehat-penasehat dan ahli-ahli dari luas secara efektif; (2) selalu memberikan informasi yang lengkap dan up to date kepada anggota-anggotanya sehingga mereka tetap terlibat dan suportif; (3) melakukan rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan bisnis dengan memakai agenda yang teratur, prosedur-prosedur parlemen, dan pengambil keputusan yang demokrasi; (4) mempertahankan relasi-relasi yang baik antara manajemen dan dewan direktur/pengurus dengan tugas-tugas dan tanggung jawab- tanggung jawab yang didefinisikan secara jelas; (5) mengikuti praktek-praktek akutansi yang baik, dan mempersentasikan laporan-laporan keuangan secara regular; (6) mengembangkan aliansi-aliansi dengan koperasi-koperasi lainnya; dan (7) mengembangkan kebijakan-kebijakan yang jelas terhadap konfidensial dan konflik kepentingan.

Keeling (2005) meneliti mengapa dalam beberapa tahun belakangan ini banyak koperasi-koperasi besar di California termasuk dua yang terkenal Tri-Valley Growers (TVG) dan the Rice Growers Association (RGA) telah tutup, sedangkan banyak lainnya sedang mengalami kesulitan-kesulitan keuangan. Perkembangan-perkembangan tersebut memberi kesan bahwa koperasi-koperasi di California mungkin semakin mengalami kesulitan untuk bersaing dalam iklim bisnis pertanian saat ini dengan persaingan yang semakin ketat dari produk-produk luar negeri termasuk dari China. Akhirnya, hasil studi tersebut mendukung hipotesis awal bahwa, RGA dan TVG tutup terutama akibat kombinasi dari sejumlah faktor berikut: (1) kurangnya pendidikan dan pengawasan dari dewan direktur/pengurus; (2) manajemen yang tidak efektif; dan (3) keanggotaan yang pasif.

Sedangkan bagi Anderson dan Henehan (2003), manajemen dan direktur yang efektif dalam arti cepat mengambil suatu keputusan yang tepat dalam merespons terhadap perkembangan-perkembangan bisnis terkait (misalnya perubahan pasar atau masuknya pesaing-pesaing baru) sangat menentukan keberhasilan suatu koperasi. Mereka harus memastikan bahwa dengan langkah-langkah yang cepat koperasi mereka bisa mendapatkan keberhasilan-keberhasilan yang maksimum. Menurut mereka, koperasi yang bisa berhasil atau paling tidak yang bisa survive dalam era persaingan yang semakin ketat ini, diantara faktor-faktor kunci lainnya, adalah yang dipimpin oleh dewan direktur berkualitas. Dan untuk mendapatkan direktur-direktur berkualitas adalah tugas para anggota untuk memilih mereka. Kemudian, dewan direktur bertanggung jawab dalam menyeleksi manajer yang berkualitas, mengembangkan suatu strategi yang kuat, dan mengimplementasikan suatu struktur keuangan yang baik. Selain itu, para anggota juga harus aktif memonitor kinerja dari koperasi, dewan dan manajemennya.

Di NM koperasi terutama di pertanian saat ini sedang mengalami perubahan akibat persaingan global yang semakin sengit dan perubahan selera konsumen. Di AS, akibat persaingan dari produk-produk pertanian dari luar negeri dan perubahan pola konsumsi, telah terjadi konsolidasi dari produksi pertanian. Pada tahun 1969 terdapat 2.730.250 petani di negara tersebut, dan pada tahun 1997 jumlahnya merosot ke 1.911.859, suatu penurunan 30%. Pada waktu yang sama, rata-rata skala usaha petani meningkat. Saat jumlah petani menurun dan jumlah produksi per petani meningkat, setiap individu pembeli produk-produk pertanian menjadi sangat penting bagi koperasi koperasi lokal pemasok dan pemasaran produk-produk pertanian. Pada waktu bersamaan, koperasi-koperasi pertanian tersebut yang menghadapi pembeli yang lebih sedikit, masing-masing dengan daya beli yang lebih besar, bersaing lebih agresif satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan pembeli/keuntungan. Industri-industri yang memasok petani (bibit, pupuk dll.) dan industri-industri pengolahan produk-produk pertanian sedang mengalami suatu periode dari konsolidasi, yang menyisakan lebih sedikit jumlah pemain untuk bersaing mendapatkan bisnis dari sisa produsen yang masih ada. Sebagai tambahan, perusahaan-perusahaan kunci di industri-industri tersebut dalam banyak kasus juga merupakan koperasi pemasok-pemasok dan pembeli-pembeli lokal produk-produk pertanian. Ini artinya pilihan menjadi lebih sedikit bagi koperasi saat harus menetapkan membeli dari dan menjual kepada siapa, yang mengurangi daya tawar dari koperasi lokal tersebut. Saat seperti ini dimana koperasi-koperasi lokal berjuang untuk menghadapi tantangan-tantangan seperti itu, banyak yang merespons dengan melakukan perubahan structural.[1]

Dari penelitian mereka, Vandeburg, dkk. (2000) menemukan banyak manajer-manajer koperasi lokal melakukan perubahan struktural dengan cara bergabung, akuisisi, bekerja sama, dan melakukan aliansi strategis dengan koperasi-koperasi lainnya atau dengan perusahaan-perusahaan berorientasi investor. Dari penemuan tersebut, mereka menyimpulkan bahwa langkah-langkah seperti itu adalah sangat tetap agar koperasi-koperasi pertanian bisa survive atau tetap kompetitif dalam kondisi seperti yang digambarkan di atas.

Tetapi di atas segalanya, kualitas dari manajer atau dewan direktur sangatlah krusial. Mereka harus bisa membaca perkembangan tren-tren di pasar domestik dan global, baik yang sedang berlangsung saat ini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Mereka harus bisa merespons secara cepat dan tepat setiap perubahan yang terjadi.(Barr, 2005).

Dari pengamatannya terhadap perkembangan koperasi di AS, McKenna (2001) menjabarkan sejumlah karakteristik dari koperasi yang berhasil. Diantaranya yang paling menonjol adalah: (1) menerapkan strategi yang rasional yang cocok dengan lingkungan bisnisnya yang berlaku untuk bisa tetap beroperasi; (2) mempunyai suatu visi yang lebih luas dari hanya memproduksi bahan baku (produsen perlu memahami apa artinya menanam dalam nilai tambah); (3) keputusan-keputusan didasarkan pada informasi yang kredibel; (4) keuangan baik; (5) pemilik atau dewan direktur bisa memimpin dengan baik (dewan direktur yang lebih banyak diambil dari luar bisa menaikkan kemampuannya untuk membuat keputusan-keputusan strategis) ; (6) memakai/mengerjakan manajer professional (ini juga meningkatkan kinerja koperasi); dan (6) punya keinginan menjadi “yang paling hebat di kelompoknya” vs. “menambah rantai nilai”.

Dari penelitiannya terhadap perkembangan koperasi pertanian dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh koperasi di Uni Eropa (UE), Nello (2000) memberikan sejumlah langkah yang harus diambil agar koperasi pertanian bisa berkembang dengan baik, yang antara lain adalah (1) menghilangkan ketidakunggulan dari petani-petani skala kecil yang terfregmentasi dengan cara membantu mereka untuk mengkonsentrasi suplai, menstabilkan harga produsen, dan meningkatkan kekuatan tawar dari petani-petani (anggotanya); (2) menciptakan kesempatan atau kemampuan petani untuk mengeksploit skala ekonomis dan meningkatkan kapasitas mereka untuk bersaing pada suatu pasar yang lebih besar (misalnya pasar ekspor); (3) memperbaiki kualitas dan menaikkan orientasi pasar, dan dengan cara itu menolong petani untuk memenuhi permintaan-permintaan yang meningkat dari konsumen untuk produk-produk makanan yang bervariasi, aman, dan spesifik regional (spesialisasi); (4) membantu petani untuk bisa memperbaiki kualitas dalam proses produksi, pembungkusan, penyimpanan dan lain sebagainya sesuai standar-standar internasional yang berlaku; (5) memperbaiki kinerja manajemen, dewan direktur dan organisasi koperasi untuk meningkatkan kepuasan anggota; dan (6) menjamin sumber pendanaan yang cukup.

Dengan membandingkan koperasi perdesaan di Belanda dengan di Afrika Sub-Sahara, Braverman, dkk. (1991) menyimpulkan bahwa buruknya kinerja koperasi di Afrika Sub-Sahara (atau di banyak negara berkembang (NB) pada umumnya) disebabkan oleh sejumlah faktor yang bisa dibedakan antara faktor-faktor eksternal diluar kontrol koperasi dan faktor-faktor internal. Faktor-faktor internal terutama adalah keterbatasan partisipasi anggota, masalah-masalah struktural dan kontrol, dan kesalahan manajemen. Sedangkan faktor-faktor eksternal terutama adalah intervensi pemerintah yang terlalu besar yang sering didorong oleh donor, kesulitan lingkungan-lingkungan ekonomi dan politik, dan harapan-harapan yang tidak realistic dari peran dari koperasi. Menurut mereka, problem yang paling signifikan adalah cara bagaimana koperasi itu dipromosikan oleh pemerintah. Promosi yang sifatnya dari atas ke bawah telah menghalangi anggota untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan koperasi. Bentuk-bentuk organisasi dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan diatur oleh pihak luar. Jadi koperasi telah gagal untuk berkembang menjadi unit-unit yang mandiri dan sepenuhnya berdasarkan anggota. Masih dalam kaitan ini, Linstad (1990) mengatakan bahwa di banyak NB sering kali pemerintah melihat dan menggunakan koperasi sebagai suatu alat untuk menjalankan agenda-agenda pembangunannya sendiri. Koperasi sering diharapkan bahkan di paksa berfungsi sebagai kesejahteraan sosial dan sekaligus sebagai organisasi ekonomi, yang dengan sendirinya memberi beban sangat berat kepada struktur manajemen koperasi yang pada umumnya lemah. Menurut Braverman, dkk. (1991), sedikit sekali perhatian diberikan kepada kondisi-kondisi ekonomi dimana koperasi-koperasi diharapkan melakukan berbagai aktivitas. Promosi koperasi yang tidak diskriminatif, yakni tanpa memberi perhatian pada hal-hal seperti dinamik-dinamik internal, insentif, struktur kontrol, dan pendidikan dari anggota, sering kali telah membuat koperasi-koperasi menjadi organisasi-organisasi birokrasi yang sangat tergantung pada dukungan pemerintah dan politik. Oleh karena itu, Gentil (1990) menegaskan bahwa agar koperasi maju maka hubungan antara pemerintah dan koperasi yang didefinisikan ulang.

Rangkuman dari hasil Konferensi Tahunan Koperasi-Koperasi Petani, Oktober 29-20, 2001 di Las Vegas, Nevada (AS)[2]menghasilkan beberapa butir penting yang disampaikan oleh pembicara-pembicara mengenai tantangan yang dihadapi oleh koperasi pada era sekarang ini. Diantaranya dari Larson, yakni sebagai berikut: (1) membangun suatu sistem koperasi yang menyatukan peran lokal dan peran regional; dalam kata lain bagaimana koperasi lokal dan koperasi regional bisa bekerja sama untuk jangka panjang); (2) menciptakan penghasilan yang cukup (atau menaikkan profit); (3) mengembangkan atau menyempurnakan strategi dan keahlian pemasaran (mensegmentasikan pasar hanya permulaan); (4) program-program SDM; dan (5) mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi e-commerce. Pesan paling utama dari Larson untuk koperasi-koperasi lokal adalah bahwa kinerja keuangan yang solid sangat penting; koperasi-koperasi harus mempunyai tujuan-tujuan penggerak/peningkatan kinerja.

Selain studi-studi kasus di atas, beberapa pengamat koperasi di Indonesia juga mencoba mengevaluasi keberhasilan koperasi di NM. Misalnya menurut Soetrisno (2001, 2003a,b,c), model-model keberhasilan koperasi di dunia umumnya berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti di Perancis dan Belanda dan produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika, khususnya AS dan di beberapa negara di Eropa. Dari evaluasinya, Soetrisno melihat ada beberapa syarat agar koperasi bisa maju, yakni: (i) skala usaha koperasi harus layak secara ekonomi;[3](ii) koperasi harus memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi;[4](iii) posisi koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar memperkuat posisi tawar koperasi;[5]dan pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan SDM)..



[1]Lihat misalnya Cummins (1993) dan Warman (1994).

[2] Hasil lengkapnya (termasuk makalah-makalah dan/atau power point- power point dari para pembicara) dari konferensi ini dan konferensi pada tahun-tahun sebelumnya atau sesudahnya dapat dilihat di alamat berikut ini: www.wisc.edu/uwcc (University of Wisconsin Center for Cooperatives).

[3] Dukungan belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen sangat penting untuk menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.

[4] Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole" di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah "potensial customer-member" dari koperasi kredit (Soetrisno, 2001).

[5] Soetrisno (2001) mengamati bahwa baik di NSB maupun di NM ada contoh-contoh koperasi yang berhasil yang mempunyai kesamaan yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu. Misalnya, keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun kecil, di NM dan NSB nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar dengan kehadiran koperasi. Dengan demikian koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat kukuh.




sumber :

http://www.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/pusat study tulus tambunan/pusat studi/program seminar/makalah seminar 2.doc